ROMANTISME
KUMPULAN PUISI RITUS KONAWE
KARYA
IWAN KONAWE
OLEH
SAMSUDDIN
Dosen
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Univ.
Sembilanbelas November Kolaka

A.
Pendahuluan
Penulis karya sastra apa pun jenisnya pada hakekatnya menggunakan
pola-pola tertentu. Puisi, misalnya. Penulis bahwa untuk mengungkapkan ide,
gagasan, pikiran, dan perasaan haruslah melalui sarana. Melalui sarana itu,
penyampaian ide, gagasan, pikiran dan perasaan dapat diutarakan. Sarana
penyampaian ide dimaksud dalam puisi adalah (1) bunyi sajak, (2) pilihan kata
atau diksi sajak, (3) citraan dan pengimajian, (4) bahasa bermajas.
Menurut
Tarigan (2004:4) kata puisi berasal dari bahasa Yunani polesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan
semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut
syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata
kiasan.
Puisi
dalam bahasa Inggris berpadanan dengan poetry
yang erat berhubungan dengan kata poet
dan kata poem. Mengenai kata poel dijelaskan oleh Coulter sebagai
berikut “kata poet berasal dari
Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama
sekali disebut maker. Dalam bahasa
Yunani sendiri kata poet berarti
orang yang mencipta melalui imajinasi. Orang yang tampil menyerupai dewa atau
yang amat menyukai pada dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang
suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat
menebak kebenaran yang tersembunyi.
Emerson
memberi penjelasan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk mengespresikan jiwa
sesuatu, untuk menggerakan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan
yang menyebabkannya ada karena bukannya irama melainkan argument yang membuat
irama (yaitu idea tau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi. Sang penyair
mempunyai suatu pikiran baru: dia mempunyai suatu keseluruhan pengalaman baru
untuk disingkapkan. Penyair ingin mengutarakan kepada kita betapa caranya pengalaman
itu bersatu dengan dia dan semua orang akan mempunyai perbendaharaan yang lebih
kaya pengalaman.
Menurut
Hudson (dalam Aminuddin, 2002:134-136) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah
satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk
membuahkan dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan
warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi di atas,
sementara ini dapatlah kita terima karena kita sering kali diajak oleh suatu
ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan
keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu
sewaktu membaca suatu puisi.
Ulasan
saya mengenai kumpulan puisi Ritus karya Iwan Konawe difokuskan pada bunyi dan
romantisme. Bunyi mencangkup (1) irama, (2) kakafoni dan efoni, (3) anomatope,
(4) aliterasi, (5) asonansi, dan (6) anaphora dan epifora. Romantisme merupakan paham ideology dan
literal yang berpengaruh terhadap keseluruhan sastra, termasuk dalam
puisi-puisi Indonesia. Romantisme (dunia nyata) dan pada yang ada di balik
realitas itu (dunia ideal).
B. Pembahasan
Ulasan mengenai bunyi dalam kumpulan
bunyi Ritus karya Iwan Konawe difokuskan pada bunyi efoni dan kakafoni. Secara
umum, saya telah mengidentifikasi bunyi dalam kumpulan puisi ini. Saya juga
meminta kesediaan mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia tahun kedua. Hasilnya menunjukkan bahwa 95% puisi dibangun oleh bunyi
kakafoni. Mulai dari puisi Andabida dan Aku Terbakar sampai puisi Ama. Semuanya
didominasi oleh bunyi kakafoni. Saya mengambil contoh puisi Ritus Konawe. Ada 140
bunyi yang diidentivikasi pada awal dan akhir kata. Bunyi tersebut dibedakan
menjadi 90 bunyi kakafoni dan 50 bunyi efoni. Perbandingan yang cukup menonjol
dalam hitungan persentase matematika. Bunyi-bunyi kakafoni dimaksud didominasi
oleh bunyi /b/,/k/,/p/,/r/,dan /t/. Bunyi /b/ muncul sebanyak 5 kali, seperti
pada kata-kata bergetir, bumi, bergerombol, berperang, bersila, dan berhasrat. Bunyi /k/ muncul sebanyak 3 kali, seperti palung, penabuh, pikiran. Bunyi
/r/ muncul sebanyak 4 kali, seperti rongga,
rahasia, ritus, dan ronta. Bunyi
/t/ muncul sebanyak 7 kali, seperti terbenam,
tubuh, tradisi, terkubur, tangis, tanah, dan tikaian. Dan
masih ada lagi bunyi-bunyi konsonan lain yang bernada serak.
Unsur bunyi yang membangun puisi
tersebut sekaligus merupakan gambaran romantisme kumpulan puisi Ritus Konawe.
Romantisme sebagai paham ideologis dan literal berpengaruh pada puisi-puisi Iwan
Konawe. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan
Konawe cenderung mengandung kontradiksi dalam dirinya, yaitu ketegangan antara
ketertarikan pada realitas keseharian, (dunia nyata) dan pada yang ada di balik
realitas itu (dunia ideal). Kontradiksi antara dunia ideal dapat dilihat pada
table berikut ini.
NO
|
ROMANTISME
KUMPULAN PUISI RITUS KONAWE KARYA IWAN KONAWE
|
|
DUNIA IDEAL
|
DUNIA NYATA
|
|
1
|
Efoni
|
Kakafoni
|
2
|
Palun
jantung Lulo
|
Terbenam
|
3
|
Tradisi
Haluoleo
|
Hamper
rongga
|
4
|
Menghentak-hentak
bumi
|
Terkubur
waktu
|
5
|
Kawanan
penabuh gendang gendering
|
Roboh dan
menyeka derai luka
|
6
|
Membakar
dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe
|
Misterius
dan tikaian
|
7
|
Ritus Mosehe
|
Luluh
bergetir
|
Tabel di atas menunjukkan oposisi
semantic antara dua hal yang jauh berbeda, yaitu dunia ideal dengan dunia
nyata. Dunia ideal merupakan sebuah keadaan yang diharapkan, diangankan,
diimajinasikan dan dirindukan. Dunia nyata
merupakan keadaan yang terjadi, nyata, dan fakta serta dialami.
Pertentangan
pertama adalah pertentangan antara efoni dan kakafoni. Penyair merindukan
sebuah kehidupan yang indah, bahagia, saling tolong menolong, sejahtera, damai
dengan adanya ritus Konawe yang disimbolkan dengan tari Lulo, kepahlawanan
Haluoleo dan kalosara. Penyair mengharapkan masyarakat Konawe bergenggaman
tangan, maju dan mundur beriringan sebagai mana yang diilustrasikan melalui
filosofis tari Lulo. Penyair mengharapkan pemuda masyarakat Konawe seperti kisah kepahlawanan dan ketegaran
Haluoleo dalam melawan Burung Kongga. Sebuah simbol kekuatan jahat yang pernah
ada di Bumi Konawe. Simbol kejahatan musnah di tangan kegagahan Haluoleo. Demikian
dunia yang diidealkan pengarang. Sebuah kehidupan yang diidamkan penyair.
Kehidupan yang indah, bahagia, sejahtera, dan persaudaraan yang harmonis.
Seperti merdunya bunyi-bunyi vokal yang berpadu dalam bunyi asonansi.
Dunia
ideal ternyata berbenturan dengan dunia nyata. Tari Lulo dan kisah kepahlawanan
Haluoleo hanya ada dalam palung jantung,
ritus dan tradisi, sementara semangatnya dan kenyataannya telah menjadi hal
yang misterius, terkubur waktu, gelisah,
tangis dan tikaian. Seperti
seraknya bunyi-bunyi konsonan yang mendominasi kumpulan puisi Ritus Konawe. Inilah
dunia nyata yang terjadi pada masyarakat Konawe.
Oposisi semantik dunia nyata dan
dunia ideal selanjutnya adalah palung
jantung lulo dan terbenam. Palung
jantung Lulo bagi penyair merupakan sebuah keadaan yang diidealkan. Lulo merupakan identitas yang memalung
pada hati, jiwa, rasa, dan raga masyarakat Mekongga sebagai situs budaya yang
memiliki nilai filosofis dan sejarah yang panjang. Sebagai situs budaya, lulo mestinya menjadi identitas
masyarakat Mekongga yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dihargai dan
dilestarikan. Akan tetapi, dunia yang diidealkan penyair telah terbenam jauh pada cingku dan wala. Lulo hanya
menjadi acara seremonial belaka sementara
makna dan hakikatnya telah jauh ditinggal, kuno, dan kampungan. Sebuah
kenyataan serak dan tragis. Bukankah sebuah bangsa bisa dihormati dan dijunjung
tinggi karena etika dan budaya?
Oposisi
semantik palung jantung lulo dan terbenam diperkuat oposisi semantik berikutnya, yaitu tradisi Haluoleo dan hampir ronggas.
Tradisi Haluoleo sekaligus mengingatkan kita pada kisah-kisah lian yang
juga hidup di bumi Mekongga, seperti Larumba Langi dalam kisah Kongga Owose,
dan Tasahea. Dua simbol kekuatan yang pernah ada dan hidup di bumi Mekongga. Sebuah
simbol kekuatan yang diidealkan penyair. Akan tetapi, simbol kekuatan itu kini
hampir ranggas bahkan telah ranggas. Kehidupan yang diidealkan
penyair berbenturan dengan dunia nyata dan praktek hidup sehari-hari masyarakat
Mekongga. Simbol kekuatan itu kini hampir
ranggas. Hanya hidup dalam cerita-cerita yang didongengkan guru bahasa Indonesia di kelas satu SD. Semangatnya
dan kenyataan dalam kehidupan telah ranggas
dan misterius.
Oposisi
semantik berikutnya menghentak-hentak
bumi dan terkubur waktu.
Menghentak-hentak bumi merupakan dunia ideal penyair. Sebuah kehidupan yang
menggemakan dan menggaung dari kehidupan tradisi Lulo. Seperti pada penari yang menghentakkan kaki ke bumi, maju
bersama, bergenggaman tangan dan ayunan mesra. Sebuah simbol keharmonisan hidup
yang damai dan aman. Dunia yang diidealkan penyair berbenturan dengan dunia
nyata. Kehidupan damai dan aman yang disimbolkan dengan gerakan Lulo kini telah terkubur waktu, roboh dan
menyeka derai luka. Sebuah kehidupan
yang nyaris dan sadis.
Oposisi
semantik berikutnya adalah membakar dupa,
menyebar doa, dan upacara Mosehe dengan misterius dan tikaian. Sebuah kehidupan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi
leluhur, dan pemerintah. Saling mendukung dan bekerja sama. Menyelesaikan
setiap persoalan dengan doa dan mengharapkan keterlibatan Tuhan dalam segala
aktivitas hidup. Kehidupan yang diidealkan penyair dibentuk dengan kenyataan
bahwa semua itu telah menjadi misterius dan tikaian. Membakar dupa, menyebar doa,
dan upacara Mosehe telah menjadi hal
yang langkah bahkan diperdebatkan. Ritus mosehe
telah luluh bergetir. Semua ini
kini hanya ada dalam imajinasi, kenangan, tenggelam dalam keriuhan politik,
kemewahan dunia dan jauh terkubur pada sudut-sudut kampung, sawah dan ladang.
Oposisi-oposisi
semantik tersebut semuanya membangun dan memperkokoh pertentangan dunia ideal
dan dunia nyata. Sebuah kehidupan harmonis yang diangankan dan diidealkan
penyair. Sekaligus juga merupakan kenyataan hidup yang dijalani penyair yang
pekak dan seram.
C. Penutup
Bunyi dalam kumpulan puisi Ritus
Konawe karya Iwan Konawe 95% didominasi oleh bunyi kakafoni. Gambaran bunyi
tersebut merupakan gambaran keadaan dan kenyataan hidup yang serak di Bumi
Konawe. Secara romantisme, kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan Konawe
mempertentangkan dua hal yang berbeda, yaitu dunia ideal yang serba harmonis,
damai dan aman, seperti Efoni, palung
jantung Lulo, tradisi Haluoleo menhentak-hentak bumi, kawanan penabuh gendang
gendering, membakar dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe, dan ritus Mosehe dan dunia nyata yang serba
serak dan pekak, seperti kakafoni,
terbenam, hamper rongga, terkubur waktu, roboh dan menyeka derai luka,
misterius dan tikaian, serta luluh
bergetir. Kedua oposisi semantik yang membangun kumpulan puisi Ritus Konawe
karya Iwan Konawe membangun satu kekuatan bahwa puisi perlu direnungkan.
No comments :
Post a Comment