Tuesday, November 29, 2016

ROMANTISME KUMPULAN PUISI RITUS KONAWE KARYA IWAN KONAWE


ROMANTISME KUMPULAN PUISI RITUS KONAWE
KARYA IWAN KONAWE
OLEH
SAMSUDDIN
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Univ. Sembilanbelas November Kolaka
 

A. Pendahuluan
            Penulis karya sastra apa pun jenisnya pada hakekatnya menggunakan pola-pola tertentu. Puisi, misalnya. Penulis bahwa untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan haruslah melalui sarana. Melalui sarana itu, penyampaian ide, gagasan, pikiran dan perasaan dapat diutarakan. Sarana penyampaian ide dimaksud dalam puisi adalah (1) bunyi sajak, (2) pilihan kata atau diksi sajak, (3) citraan dan pengimajian, (4) bahasa bermajas.
Menurut Tarigan (2004:4) kata puisi berasal dari bahasa Yunani polesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni  sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata kiasan.
Puisi dalam bahasa Inggris berpadanan dengan poetry yang erat berhubungan dengan kata poet dan kata poem. Mengenai kata poel dijelaskan oleh Coulter sebagai berikut “kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama sekali disebut maker. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasi. Orang yang tampil menyerupai dewa atau yang amat menyukai pada dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Emerson memberi penjelasan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk mengespresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkannya ada karena bukannya irama melainkan argument yang membuat irama (yaitu idea tau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi. Sang penyair mempunyai suatu pikiran baru: dia mempunyai suatu keseluruhan pengalaman baru untuk disingkapkan. Penyair ingin mengutarakan kepada kita betapa caranya pengalaman itu bersatu dengan dia dan semua orang akan mempunyai perbendaharaan yang lebih kaya pengalaman.
Menurut Hudson (dalam Aminuddin, 2002:134-136) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi di atas, sementara ini dapatlah kita terima karena kita sering kali diajak oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi.
Ulasan saya mengenai kumpulan puisi Ritus karya Iwan Konawe difokuskan pada bunyi dan romantisme. Bunyi mencangkup (1) irama, (2) kakafoni dan efoni, (3) anomatope, (4) aliterasi, (5) asonansi, dan (6) anaphora dan epifora. Romantisme merupakan paham ideology dan literal yang berpengaruh terhadap keseluruhan sastra, termasuk dalam puisi-puisi Indonesia. Romantisme (dunia nyata) dan pada yang ada di balik realitas itu (dunia ideal).

B. Pembahasan
            Ulasan mengenai bunyi dalam kumpulan bunyi Ritus karya Iwan Konawe difokuskan pada bunyi efoni dan kakafoni. Secara umum, saya telah mengidentifikasi bunyi dalam kumpulan puisi ini. Saya juga meminta kesediaan mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun kedua. Hasilnya menunjukkan bahwa 95% puisi dibangun oleh bunyi kakafoni. Mulai dari puisi Andabida dan Aku Terbakar sampai puisi Ama. Semuanya didominasi oleh bunyi kakafoni. Saya mengambil contoh puisi Ritus Konawe. Ada 140 bunyi yang diidentivikasi pada awal dan akhir kata. Bunyi tersebut dibedakan menjadi 90 bunyi kakafoni dan 50 bunyi efoni. Perbandingan yang cukup menonjol dalam hitungan persentase matematika. Bunyi-bunyi kakafoni dimaksud didominasi oleh bunyi /b/,/k/,/p/,/r/,dan /t/. Bunyi /b/ muncul sebanyak 5 kali, seperti pada kata-kata bergetir, bumi, bergerombol, berperang, bersila, dan berhasrat. Bunyi /k/ muncul sebanyak 3 kali, seperti palung, penabuh, pikiran. Bunyi /r/ muncul sebanyak 4 kali, seperti rongga, rahasia, ritus, dan ronta. Bunyi /t/ muncul sebanyak 7 kali, seperti terbenam, tubuh, tradisi, terkubur, tangis, tanah, dan tikaian. Dan masih ada lagi bunyi-bunyi konsonan lain yang bernada serak.
            Unsur bunyi yang membangun puisi tersebut sekaligus merupakan gambaran romantisme kumpulan puisi Ritus Konawe. Romantisme sebagai paham ideologis dan literal berpengaruh pada puisi-puisi Iwan Konawe. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan Konawe cenderung mengandung kontradiksi dalam dirinya, yaitu ketegangan antara ketertarikan pada realitas keseharian, (dunia nyata) dan pada yang ada di balik realitas itu (dunia ideal). Kontradiksi antara dunia ideal dapat dilihat pada table berikut ini.



NO
ROMANTISME KUMPULAN PUISI RITUS KONAWE KARYA IWAN KONAWE
DUNIA IDEAL
DUNIA NYATA
1
Efoni
Kakafoni
2
Palun jantung Lulo
Terbenam
3
Tradisi Haluoleo
Hamper rongga
4
Menghentak-hentak bumi
Terkubur waktu
5
Kawanan penabuh gendang gendering
Roboh dan menyeka derai luka
6
Membakar dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe
Misterius dan tikaian
7
Ritus Mosehe
Luluh bergetir

            Tabel di atas menunjukkan oposisi semantic antara dua hal yang jauh berbeda, yaitu dunia ideal dengan dunia nyata. Dunia ideal merupakan sebuah keadaan yang diharapkan, diangankan, diimajinasikan dan dirindukan. Dunia nyata merupakan keadaan yang terjadi, nyata, dan fakta serta dialami.
Pertentangan pertama adalah pertentangan antara efoni dan kakafoni. Penyair merindukan sebuah kehidupan yang indah, bahagia, saling tolong menolong, sejahtera, damai dengan adanya ritus Konawe yang disimbolkan dengan tari Lulo, kepahlawanan Haluoleo dan kalosara. Penyair mengharapkan masyarakat Konawe bergenggaman tangan, maju dan mundur beriringan sebagai mana yang diilustrasikan melalui filosofis tari Lulo. Penyair mengharapkan pemuda masyarakat Konawe  seperti kisah kepahlawanan dan ketegaran Haluoleo dalam melawan Burung Kongga. Sebuah simbol kekuatan jahat yang pernah ada di Bumi Konawe. Simbol kejahatan musnah di tangan kegagahan Haluoleo. Demikian dunia yang diidealkan pengarang. Sebuah kehidupan yang diidamkan penyair. Kehidupan yang indah, bahagia, sejahtera, dan persaudaraan yang harmonis. Seperti merdunya bunyi-bunyi vokal yang berpadu dalam bunyi asonansi.
Dunia ideal ternyata berbenturan dengan dunia nyata. Tari Lulo dan kisah kepahlawanan Haluoleo hanya ada dalam palung jantung, ritus dan tradisi, sementara semangatnya dan kenyataannya telah menjadi hal yang misterius, terkubur waktu, gelisah, tangis dan tikaian. Seperti seraknya bunyi-bunyi konsonan yang mendominasi kumpulan puisi Ritus Konawe. Inilah dunia nyata yang terjadi pada masyarakat Konawe.
            Oposisi semantik dunia nyata dan dunia ideal selanjutnya adalah palung jantung lulo dan terbenam. Palung jantung Lulo bagi penyair merupakan sebuah keadaan yang diidealkan. Lulo merupakan identitas yang memalung pada hati, jiwa, rasa, dan raga masyarakat Mekongga sebagai situs budaya yang memiliki nilai filosofis dan sejarah yang panjang. Sebagai situs budaya, lulo mestinya menjadi identitas masyarakat Mekongga yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dihargai dan dilestarikan. Akan tetapi, dunia yang diidealkan penyair telah terbenam jauh pada cingku dan wala. Lulo hanya menjadi acara seremonial belaka sementara makna dan hakikatnya telah jauh ditinggal, kuno, dan kampungan. Sebuah kenyataan serak dan tragis. Bukankah sebuah bangsa bisa dihormati dan dijunjung tinggi karena etika dan budaya?
Oposisi semantik palung jantung lulo dan terbenam diperkuat oposisi semantik berikutnya, yaitu tradisi Haluoleo dan hampir ronggas. Tradisi Haluoleo sekaligus mengingatkan kita pada kisah-kisah lian yang juga hidup di bumi Mekongga, seperti Larumba Langi dalam kisah Kongga Owose, dan Tasahea. Dua simbol kekuatan yang pernah ada dan hidup di bumi Mekongga. Sebuah simbol kekuatan yang diidealkan penyair. Akan tetapi, simbol kekuatan itu kini hampir ranggas bahkan telah ranggas. Kehidupan yang diidealkan penyair berbenturan dengan dunia nyata dan praktek hidup sehari-hari masyarakat Mekongga. Simbol kekuatan itu kini hampir ranggas. Hanya hidup dalam cerita-cerita yang didongengkan guru bahasa Indonesia di kelas satu SD. Semangatnya dan kenyataan dalam kehidupan telah ranggas dan misterius.
Oposisi semantik berikutnya menghentak-hentak bumi dan terkubur waktu. Menghentak-hentak bumi merupakan dunia ideal penyair. Sebuah kehidupan yang menggemakan dan menggaung dari kehidupan tradisi Lulo. Seperti pada penari yang menghentakkan kaki ke bumi, maju bersama, bergenggaman tangan dan ayunan mesra. Sebuah simbol keharmonisan hidup yang damai dan aman. Dunia yang diidealkan penyair berbenturan dengan dunia nyata. Kehidupan damai dan aman yang disimbolkan dengan gerakan Lulo kini telah terkubur waktu, roboh dan menyeka derai luka. Sebuah kehidupan yang nyaris dan sadis.
Oposisi semantik berikutnya adalah membakar dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe dengan misterius dan tikaian. Sebuah kehidupan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi leluhur, dan pemerintah. Saling mendukung dan bekerja sama. Menyelesaikan setiap persoalan dengan doa dan mengharapkan keterlibatan Tuhan dalam segala aktivitas hidup. Kehidupan yang diidealkan penyair dibentuk dengan kenyataan bahwa semua itu telah menjadi misterius dan tikaian. Membakar dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe telah menjadi hal yang langkah bahkan diperdebatkan. Ritus mosehe telah luluh bergetir. Semua ini kini hanya ada dalam imajinasi, kenangan, tenggelam dalam keriuhan politik, kemewahan dunia dan jauh terkubur pada sudut-sudut kampung, sawah dan ladang.
Oposisi-oposisi semantik tersebut semuanya membangun dan memperkokoh pertentangan dunia ideal dan dunia nyata. Sebuah kehidupan harmonis yang diangankan dan diidealkan penyair. Sekaligus juga merupakan kenyataan hidup yang dijalani penyair yang pekak dan seram.

C. Penutup
            Bunyi dalam kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan Konawe 95% didominasi oleh bunyi kakafoni. Gambaran bunyi tersebut merupakan gambaran keadaan dan kenyataan hidup yang serak di Bumi Konawe. Secara romantisme, kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan Konawe mempertentangkan dua hal yang berbeda, yaitu dunia ideal yang serba harmonis, damai dan aman, seperti Efoni, palung jantung Lulo, tradisi Haluoleo menhentak-hentak bumi, kawanan penabuh gendang gendering, membakar dupa, menyebar doa, dan upacara Mosehe, dan ritus Mosehe dan dunia nyata yang serba serak dan pekak, seperti kakafoni, terbenam, hamper rongga, terkubur waktu, roboh dan menyeka derai luka, misterius dan tikaian, serta luluh bergetir. Kedua oposisi semantik yang membangun kumpulan puisi Ritus Konawe karya Iwan Konawe membangun satu kekuatan bahwa puisi perlu direnungkan.

No comments :

Post a Comment