PUDARNYA PESONA CLEOPATRA
Ibuku memaksaku untuk menikahi gadis pilihannya yang sama sekali tak
kukenal. Aku tak berdaya sama sekali untuk melawannya, aku tak punya kekuatan
apa-apa untuk memberontakknya, sebab setelah ayahku tiada, bagiku ibu adalah
segalanya.
Gadis yang akan dijodohkan denganku bernama Raihana. Ia adalah anak dari teman
karib ibuku waktu nyantri di Mangkuyuban Solo dulu. Ibuku bercerita, sejak di
dalam kandungan ibuku, aku telah dijodohkan dengan anak teman karib ibuku itu
yang bernama Raihana yang sama sekali tak ku kenal. Bisa-bisanya ibuku berbuat
seperti itu. Dahulu mereka pernah benjanji, jika dikaruniai anak berlainan
jenis akan besanan untuk memperteguh ikatan persaudaraan. Maka dari itu ibuku
mengharanp keikhlasanku, dan jangan mengecewakan harapan ibuku yang telah hadir
jauh sebelum diriku lahir.
Percayalah pada ibu, ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu tahu
persis garis keturunan Raihana, kesalehan kedua orang tuanya. Ibu meyakinkan
diriku. Begitu juga adikku mencoba meyakinkanku. Raihana orangnya baik, ramah,
halus budi, sarjana pendidikan, penyabar, berjilbab dan hafal Alquran komentar
Aida, adikkku.
Kucoba selidiki tentang Raihana kepada adikku, ternyata Raihana lebih tua 2
tahun dari pada aku. Namun terus saja adikku mencoba untuk meyakinkan aku, yang
dibilangnya wajahnya baby face, tampak masih sweet seventeen dan menikah dengan
wanita yang lebih muda lagi nge-trend.
Sesungguhnya aku tak mau menikah dengan wanita yang tak kucintai dan kusayangi.
Namun akhirnya aku pasrah dan menuruti keinginan ibuku. Aku tak mau
mengecewakannya. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu
aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya
bulat-bulat pada ibuku. Meskipun dalam hatiku ada kecemasan-kecemasan yang
mengintai. Sebenarnya aku sudah mempunyai kriteria sendiri untuk calon
isteriku. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibuku
yang amat kucintai itu. Saat khitbah, sekilas kutatap wajah Raihana, dan benar
kata Aida, ia memang baby face dan lumayan anggun. Namun garis-garis
kecantikkan yang kuimpikan tak kutemukan sama sekali. Semua keluargaku mengakui
bahwa Raihana cantik, bahkan pemilik salon terkenal mengacungkan jempol saat
menatap foto Raihana.
Seleraku lain, aku begitu hanyut dengan citra gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra yang tinggi semampai, berwajah putih jelita dengan hidung melengkung
indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan. Dalam
balutan jilbab sutera putuh wajah gadis Mesir itu bersinar-sinar seperti
permata Zabarjad yang bersih, indah berkilauan tertimpa sinar purnama. Sejuk
dan mempesona jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang
melihatnya. Aura pesona kecantikkan gadis Mesir titisan Cleopatra sedemikian
mengakar dalam otakku. Perasaanku, dan hatiku. Aku heran kenapa aku jadi
begini. Mana ada kecantikkan Cleopatra di Jawa.
Di hari-hari menjelang akad nikah, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
pada calon isteriku, tetapi usahaku selalu saja sia-sia. Bibit cinta yang
kuharapkan malah menjelma menjadi pohon-pohon kaktus berduri yang tumbuh
mengganjal di dalam hatiku.ingin aku memberontak pada ibu, tapi teduh wajahnya
selalu membuatku luluh. Haruskan aku menikah dalam keadaan seperti ini dengan
orang yang tak kucintai? Dan lagi-lagi aku pasrah, sinar wajah ibu
berkilat-kilat hadir didepan mataku.
Hari pernikahan itu datang. Aku seumpama tawanan yang digiring ke tiang
gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagaikan mayat hidup, hati hampa tanpa
cinta. Pesta meriah dengan empat bunyi grup rebana terasa konyol, lantunan
shalawat terasa menusuk-nusuk hati. Innalillahi wa inna ilahi rojiun.
Perasaanku dan nuraniku benar-benar mati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi
hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-benar merana.
Harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai.
Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksa untuk mesra bukan karena
cinta namun hanya sekadar karena aku manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayat-Nya. Hatiku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku.
Aku pasrah tanpa daya.
Tepat dua bulan setelah pernikahan, ku bawa Raihana ke sebuah rumah kontrakkan
di pinggir kota Malang. Tak kutemukan hari-hari indah selayaknya pengantin
baru. Yang kurasakan adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera.
Betapa susahnya hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan hidup bersama
Raihana, semuanya serba bersama tapi masya Allah bibit-bibit cintaku tak juga
tumbuh. Pepatah jawa kuno bilang, wiwiting tresno jalaran soko kulino, yang
artinya hadirnya cinta sebab sering bersama. Namun pepatah itu agaknya tak
berlaku untukku.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan. Aku
tak tau dari mana datangnya perasaan ini. Aku telah mencoba membuang jauh-jauh
perasaan tidak baik ini, aku tak mau muak dan benci pada siapapun apalagi pada
isteriku sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Namun perasaan itu
tidak bisah diusir. Bahkan dari detik ke detik rasa muak itu semakin
menjadi-jadi, menggurita dan menjajah diri. Aku tak berdaya apa-apa. Sikapku
mulai terasa lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan
tidurpun lebih banyak di ruang kerja atau diruang tamu. Aku merasa hidupku
adalah sia-sia. Belajarku di luar negeri selama lima tahun juga sia-sia.
Pernikahanku sia-sia, keadaanku sia-sia, dan usahaku untuk berbakti pada ibu
adalah sia-sia. Aku hanya menemui kesia-siaan, sebab aku telah berusaha
menemukan cahaya cinta itu namun tak kutemukan juga. Yang datang justru
rasa muak dan hampa.
Tidak hanya aku yang tersiksa dengan keadaan ini. Raihan mungkin merasakan hal
yang sama. Ia adalah wanita jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala
badai dengan kesabaran, selalu mengalah dengan keadaan dan menomorsatukan suami
ketimbang dirinya sendiri. Ia mencoba memberanikan diri bertanya tentang
perubahan sikapku, ia mencari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku
tapi selalu saja kujawab “tidak ada apa-apa kok mbak”. Ada kekagetan dalam
wajah Raihana saat ku panggil “mbak”. “ kenapa mas memanggilku “mbak”? aku
inikan isteri mas apakah mas tidak mencintaiku? Tanyanya dengan wajah sedih.
“wallahu’alam” jawabku. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk dan
menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku. Rihana berkata mengapa mas
mengucapkan akad nikah itu kalau mas tidak mencintaiku? Apa yang kurang dariku
mas. Mas jangan diam, kalau ada yang tidak berkenaan mas bilang dan menegurnya.
Apa yang harus aku lakukan mas? Bagaimana caranya agar bisa membahagiakanmu
mas? Satu hal yang jangan kau pinta mas yaitu menceraikan aku, itu adalah
neraka bagiku, aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Ku mohon bukalah sedikit
hatimu untuk menjadi ruang pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadah di dunia
ini. Raihana mengibah penuh pasra namun sayang sungguh sayang aku tidak
merasakan apapun, tak merasa ibah terhadapnya.
Hari terus berjalan namun komunikasi kami tidak, kami hidup seperti orang
asing. Namun Raihana masih menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore ketika
pulang mengajar aku kehujanan di jalan. Seluruh tubuhku basah kuyub karena aku
tak membawa jas hujan. Aku sampai dirumah sehabis magrib. Bibirku biru, mukaku
pucat, perutku masih kosong karena tidak sarapan. Raihana memandangku dengan
khawatir. Langsung ia bergegas jeketku yang basah kuyub dan menyediakan air
panas untukku mandi. Namun aku tak ada berkata apapun kepada Raihana. Aku
langsung masuk kamar mandi dan selesai mandi Raihana juga telah menyiapkan
pakaianku serta telah membuatkanku wedang jahe. Namun aku merasa mual dan
berlari ke kamar mandi dan muntah disana, Raihana mengejarku dan memijitku,
katanya aku masuk angin. Dengan kebiasaan yang dilakukan seperti ibuku dia
mengerokin tubuhku, dan setelah itu membawakanku bubur kacang hijau panas. Aku
menyantap bubur itu, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Raihana duduk di
kursi yang tak jauh dariku dengan membacakan alquran. Di luar sangat hujan
deras dan petir menggelegar-gelegar. Tak lama setelah itu tertidurlah aku dan
dalam tidurku aku bertemu dengan Ratu Cleopatra di pantai Cleopatra,
Alexandria. Ia mengundangku untuk makan malam bersama keponakannya Mona Zaki
dan menyuntingnya di suatu istana. Segala persiapan aku lakukan agar bertemu
dengan wanita yang sangat cantik itu. Malam harinya sampailah aku di istana
Ratu Cleopatra, disana ada Mona Zaki dan kedua orangtuanya. Aku telah
menyuntingnya dan saat aku melangkah maju dan akan duduk bersanding dengan Mona
Zaki tiba-tiba Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan kecewaan yang luar
biasa dan menatap Raihana dengan perasaan jengkel namun Raihana meminta maaf
karena telah membangunkanku. Dia membangunkanku karena aku belum sholat isya,
mungkin dia baru selesai sholat duluan karena tampak dari mukena yang belum
terlepas. Aku bangkit mengambil air wudhu dan sholat.
Aku merasa sulit hidup bersama Raihana. Hidupku kami serasa hidup dalam dunia
masing-masing. Aku telah memasuki bulan ke enam menjadi suaminya namun sudah
satu bulan aku tak tidur bersamanya. Aku lebih senang dan nyaman tidur di ruang
kerja bersama buku-buku dan komputerku. Raihana tak mampu membuka hatiku dan
meluruhkan perasaanku. Mengapa aku sulit jatuh cinta, seribu doa terpanjatkan
agar hatiku terbuka namun yang hadir tetap saja aura gadis lembah sungai Nil.
Aku mungkin terlalu memuja keelokan gadis Mesir yang jika ada delapan gadis
Mesir maka yang cantik ada enam belas karena bayangannya juga cantik. Aku
benar-benar terpenjara dalam keadaan ini. Untuk menghibur diri suatu pulang
mengajar, kulihat kaset sinetron berseri Ibnu Hazm dari Mesir. Dengan melihat
sinetron itu kaembali hadir pesona kecantikka gadis-gadis titisan Cleopatra.
Dalam sinetron itu menceritakan seorang istri yang selalu setia mencintai
suaminya dan begitu juga seorang suami yang sangat mencintai istrinya walau
banyak godaan yang menghampiri mereka. Namun dengan keteguhan cinta mereka
sampai saat suaminya di penjara sekalipun istrinya masih tetap selalu setia
menjenguk dan menantinya. Istrinya tak pernah goyah akan cintanya pada
suaminya yang terhina di penjara. Sebuah keteladana cinta yang luar biasa. Aku
ingin mencintai istriku seperti dalam sinetron itu yang mencintai istrinya
dengan sepenuh jiwa dan dicintai istriku seperti dalam sinetron itu yang
dicintai oleh istrinya.
Kemudian tersadar aku dalam pengembaraanku pada sinetron itu, karena Raihana
mengajakku untuk datang pada acara aqiqahaan Yu Imah. Segan jika yang selalu di
elu-elukan tidak hadir disana. Kemudian pelan-pelan Raihana meletakkan
onde-onde dan segelas wedang jahe di atas meja. Aku biasa saja terhadapnya.
Raihana meminta maaf jika telah menggangguku dan perlahan meninggalkanku.
Dinda..... kataku. Sontak Raihana menghentikan langkahnya dan menghadapku, ia
tersenyum karena bahagia dipanggil Dinda. Kita akan berangkat kesana setelah
sholat dzuhur, insya allah. Ucapku sambil menatap wajanya dengan senyum ku
paksakan. Raihana menatapku cerah ada secercah senyum bersinar di bibirnya.
Terima kasih Mas, ibu kita pasti senang jawabnya padaku.
Acara pengajian dan aqiqahan putram ketiga dari Yuk Fatimah, kakak sulung
Raihana membawa sejarah baru dalam lembaran pernikahan kami. Memang betul
kedatangan kami sangat dielu-elukan keluarga. Sesampai disana kami
disambut dengan bahagia oleh mertua dan ibundaku sendiri. Raihana begitu
bahagia lain denganku. Yu Imah menggoda kami dengan candanya. Sambutan keluarga
begitu hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat menjaga
kewibawaanku di mata keluarga. Ia selalu menyanjung kebaikanku sebagai
suaminya, orang yang dicintainya. Bahkan mengaku bangga dan bahagia menjadi
istriku. Pusingnya lagi ibu mertuaku dan ibundaku menyindir tentang keturunan.
Insya allah tak lama lagi ibu akan segera menimang cucu doakan kami, bukan
begitu Mas? Sahut Raihana sambil menyikut lenganku, akupun tergagap dan
menganggukkan kepalaku. Setelah peristiwa itu ku coba untuk bersikap bersahabat
dengan Raihan. Aku berpura-pura mesra terhadap Raihana dan Allah maha kuasa,
kepura-puraanku membuahkan hasil Raihana hamil. Ia semakin manis, saudara semua
bergembira, ibuku bahagia namun hatiku menangis meretapi cintaku yang tak
kunjung datang. Tuhan kasihanilah hamba, hadirkanlah cinta itu segera, aku
takut kelak juga tak bisa mencintai bayi yang tak lain adalah darah dagingku
sendiri. Sejak itu hatiku semakin sedih dan aku semakin lalai untuk
memperhatikan Raihana dan kandungannya. Saat usia kehamilannya memasuki bulan
keenam, Raihana minta ijin untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dengan
alasan kesehatannya. Dan ku antarkan dia kesana. Ketika aku pamitan Raihana
berpesan untuk mencairkan ATM-nya d bawah kasur no pinnya tanggal pernikahan
kami, guna untuk menambah biaya persalinan kelak.
Setelah Raihana tinggal disana aku merasa lega. Aku bisa bebas melakukan apa
saja hanya saja sedikit repot karena harus mempersiapkan segalanya sendirian.
Waktu terus berjalan dan aku merasa enjoy tanpa Raihana dan suatu saat ketika
aku pulang kehujanan dan sampai rumah sudah petang aku merasa tubuhku
benar-benar lemas, aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut
mual, saat itu terlintas andaikan ada Raihana dia pasti telah menyiapkan air
hangat, bubur kacang hijau, mengerokin punggungku, dan menyelimuti tubuhku dengan
selimut. Satt itu ku lakukanlah segalanya sendirian, menyiapkannya sendirian
agar tubuhku segar. Aku terbangun jam enam pagi ada penyesalan dalam diri
karena aku belum sholat isya dan terlambat sholat subuh. Baru terasa,
andaikan ada Raihana aku pasti tidak lalai sholat meskipun sakit. Lintasan
kehadiran Raihana hilang setelah aku beranmgkat mengajar. Ketika aku makan
siang bersama Pak Hardi dan Pak Susilo, kami berbincang-bincang tentang Pak
Agung yang kehidupannya sungguh menyedihkan. Ceritanya Pak Agung ini
adalah seseorang yang cerdas karena kecerdasannya beliau berhasil mempersunting
wanita cantik yang namanya adalah Judit Barton. Namun sayang wanita yang telah
menjadi istri Pak Agung selingkuh dengan pria bule. Dan sekarang ini beliau
menjalankan terapi psikologis. Dan di sela-sela perbincangan itu mereka
mengatakan hidupku sungguh beruntung memiliki istri yang sangat ideal, cantik,
pintar, penurut, setia, dan lebihnya lagi hafal qur’an. Cerita saat makan siang
tadi mengingatkanku pada Raihana. Namun entah mengapa sudah satu bulan berpisah
dengannya rasa rindu tak pernah ada untuknya. Cerita itu berlalu dengan
sendirinya apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti
pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab selama 10 hari. Diantara tutornya
adalah profesor bahasa arab dari Mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan
dengan Pak Qalyubi, seorang dosen yang pernah menempuh S1 nya di Mesir. Lama
kelamaan beliau akrab denganku dan menceritakan pengalamannya saat di Mesir
yang menurutnya pahit tapi terlanjur dijalani. Ia telah menyesal telah menikah
dengan wanita Mesir yang bernama Yasmin, karena kecantikannyalah beliau
menderita. Saat menjalin rumah tangga dengan istrinya hidupnya harus serba
mewah, selalu menuruti apa yang di inginkan istrinya. Segala sesuatunya aku
lakukan untuk membahagiakannya sampai-sampai harta orangtuanya di gadaikan
hanya untuk menantu seperti Yasmin. Hingga pada suatu saat ketika harta benda
orangtuanya habis karena ingin kembali ke Mesir saat itulah Yasmin memintanya
untuk menceraikannya, sungguh wanita tak berhati mulia, sungguh keji
perbuatannya telah berselingkuh dan telah mengkhianati cintaku. Aku sangat
menyesal , kata beliau telah memilih wanita yang salah. Salah menomorsatukan
kecantikan, istri yang cantik namun berperangai buruk. Beliau juga mengatakan
bahwa aku beruntung tidak menikah dengan wanita Mesir karena kalau menikah
pasti akan sengsara juga.
Mendengar cerita Pak Qalyubi aku terisak-isak, perjalan hidupnya menyadarkanku
dan aku teringat pada Raihana, perlahan wajahnya terbayang di wajah, sudah dua
bulan aku berpisah dengannya, tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dalam
hati. Raihana tistri yang soleha yang tak pernah meminta apapun, yang ada
hanya pengabdian dan pengorbana. Wajah Raihana telah menyala di dinding hatiku.
Bagaimana kabar dan kandungannya. Sebentar lagi melahirkan dan aku teringat
pesannya yang memintaku untuk mencairkan tabungannya, tiba-tiba aku merasa
ingin pulang dan ingin bertemu Raihana.
Pulang pelatihan aku sempatkan mampir ke toko busana muslim. Aku membelikan
stel busana muslim untuk Raihana, daster, serta pakaian bayi. Dan membelikan
sebuah gelang untukknya. Aku ingin memberikan hadiah kejutan dan ingin
melihatnya tersenyum atas kedatanganku. Aku langsung ke rumah ibu mertuaku
tempat dimana Raihana sekarang berada. Tapi terlebih dahulu aku mampir ke rumah
kontrakan untuk memenuhi pesan Raihana mencairkan tabungannya. Sampainya di
rumah aku langsung membuka kasur tempat tidur dia selama ini. Aku tersentak
kaget dibawah kasur itu kutemukan puluhan kertas merah jambu, aku fikir ia
telah selingkuh dengan orang lain namun ternyata surat-surat itu adalah
ungkapan batin Raihana yang selama ini aku zhalimi, ia sungguh mencintaiku,
merindukanku, ia mendambakan hadirnya cinta sejati yang murni suci dariku.tak
terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
Tangisku meledak, dalam tangisku itu semua kebaikan Raihana terbayang. Dalam
keharuan terasa hawa sejuk turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika
itu pesona cleopatra memudar, berganti cahaya cinta Raihana yang terang dihati.
Rasa sayang dan cintaku kepada Raihana tiba-tiba terasa begitu kuat mengakar di
seluruh syaraf dan nadi. Inginku menumpahkan rasa rindu padanya dan menumpahkan
tangis cinta di pangkuannya. Segera ku kejar waktu untuk membagi cintaku pada
Raihana. Air mataku berderai-derai, ku kebut kendaraanku, kupacu kencang
diiringi derai air mata yang tiada henti menetes di jalanan. Degitu sampai di
rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan mengmbil nafas panjang
dan mengusap air mata. Melihat kedatanganku ibu merua serta merta memeluk dan
menangis tersedu-sedu, aku jado heran dan ikut menangis. Ternyata istriku telah
meninggal satu minggu yang lalu karena terjatuh di kamar mandi, sempat di bawa
kerrumah sakit namun sayang nyawa Raihana dan bayinya tidak selamat. Ternyata
sebelum meninggal ia telah berpesan bahwa ia meminta maaf kepadaku atas segala
kekuranganku yang tak bisa membahagiakanmu dan meminta maaf karena tak
sengaja membuatku menderita. Hatiku bergetar hebat mengapa mereka tidak ada
yang menberitahuku atas kejadian ini. Ternyata mereka telah mengunjungi
kontrakanku dan menelepon ke kampus namun sayang pada saat itu aku sedang ada
pelatihan, dan di tambah lagi Raihana yang tak mau mengganggu ketenanganku
selama pelatihan. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku sangat pilu, jiwaku remuk,
ketika aku sedang merasakan cinta yang membara Raihana telah tiada. Aku
terlambat ia telah tiada, ia telah meninggalkanku selamanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan rasa bersalah tiada terkira. Kemudian ibu
mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah masih baru di kuburan yang letaknya
di pinggir desa. Di atas gundukn itu ada dua batu nisan, nama dan hari wafatnya
tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan
yang luar biasa. Aku menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil nama Raihana,
sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba, aku ingin Raihana hidup kembali. Hatiku
perih tiada terkira. Dunia tiba-tiba gelap semua.......
No comments :
Post a Comment