Tuesday, November 29, 2016

ROBOHNYA SURAU KAMI Karya A.A. Navis


ROBOHNYA SURAU KAMI
Karya
A.A. Navis


            Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke Barat. Maka kira-kira sekilo meter dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membelokkan ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti aka Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolaam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
            Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
            Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali Sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau . karena ia begitu mahir dengan pekerjaan itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang meminta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang, tapi yang sering diterimanya ialah ucapan terimah kasih dan sedikit senyum.
            Tapi Kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal.dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoyi papan dinding atau lantai di malam hari.
            Jika Tuan datang sekarang, akan hanya menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang paling terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.
            Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat di sangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
            Sekali hari aku datang pula mengumpah kepada Kakek. Biasaya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Dari sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yangmengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua dibesarkan disekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum prnah salamku tak disahutnya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamahpisau iyu. Dan aku tanya Kakek, “pisau apa, Kek?”
            “Ajo Sidi.”
            “Ajo Sidi.”
            Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Aji Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaanya. Sebagai pembual,sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang disekiar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritaka bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seseorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebut pemimpin katak.
            Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakanKakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, “Apakah ceritanya Kek?”
            “siapa?”
            “Ajo Sidi.”
            “kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
            “Kenapa?”
            “mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya,”       “Kakek marah?”
            “Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam sudah lama aku tak marah-marah lagi. Aku takut kalau imanku rusak kerenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawaka.”
            Ingin tahuku dengan cerita Aji Sidi ysng memurungksn Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “bagaimana katanya, Kek?”
            Tapi kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku, “kau kenal padaku, bukan? Sedari aku kecil ak sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua pekerjaanku?”
            Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
            “sedari mudaku  aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri , punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kiserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esok, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kpada-Nya. “Alhamdulilah” kataku bila aku menerima karunia-Nya. “Astagfirullah” katakan bila aku terkejut. “Masya Allah”, katakan bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
            Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. “Ia katakan Kakek begitu Kek?”
            “Ia tak mengatakan aku terkutu. Tapi begitulah kira-kiranya.”
            Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukul hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadi aku  nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
            Pada suatu waktu,’ kata Ajo Sidi memulai, ’di akhirat Tuhan Allah Memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergembam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan masukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala kekuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
            Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
            ‘Engkau?’
            ‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudak ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
            ‘Aku tidakk tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
            ‘Ya Tuhanku.’
            ‘Apa kerjamu di dunia?’
            ‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
            Lain?’
            ‘setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu,’
            ‘lain?’
            ‘Segala tengahmu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang di humbalangkan iblis laknat itu.’
            ‘lain?’
            ‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain dari pada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kisah-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
            ‘Lain?’
            Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan hanya sekedar bertnya saja, tentu ada lagi, yang belum dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
            ‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
            ‘Sudah hambamu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi pengasih dan penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
            ‘Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
            ‘O, o,ooo, anu Tuhanku. Akuselalu membaca Kitabkitabmu.’
            ‘Lain?’
            ‘Sudah kucrutakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa katakan, akupun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.’
            ‘Sungguh tak ada lagi yang kukerjakan di dunia ini selain yang ku kerjakan tadi?’
            ‘Ya itulah semuanya, Tuhanku.’
            ‘Masuk kamu,’
            Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawah ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
            Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merinti kesakitan. Dan ia tambah tidak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itupun, tak mengerti juga.
            ‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘bukan kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semuanya sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.
            ‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegari dengan kita semua, dan kurang ketaatanya beribadat,’kata salah seorang diantaranya.
            ‘Ini sungguh tidak adil.’
            ‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
            ‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
            ‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
            ‘Benar. Benar. Benar.’ Sorokan yang lain membenarkan Haji Saleh.
            ‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
            ‘Kita protes. Kita resolusikan,’kata Haji Saleh.
            ‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suarayang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
            ‘Itu tergantung pada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
            ‘cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’sebuah suara menyala.
            ‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
            Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
            Dan Tuhan bertanya, ‘ Kalian mau apa?’
            Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggelar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Maha kuasa telah Enkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka belum terjadi hal-hal yang diingini, maka di sini atas nama-nama orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga, sebagaimana yang engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
            ‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
            ‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku
            ‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
            ‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
            ‘Tanahnya yang maha kaya raya, enuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
            ‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negri kami.’
Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajah kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
            ‘Di negeri di mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
            ‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
            ‘Di negeri di mana penduduknya sendiri melarat?’
            ‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negri kami.’
            ‘Negeri yang lama diperbudak orang lain?’
            ‘Ya Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.
            ‘Dan hasil tanahmu mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negrinya, bukan?’
            ‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
            ‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
            ‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau
            ‘Engkau rela melarat, bukan?’
            ‘Benar, kami rela sekali, Tuhanku.’
            ‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
            ‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
            ‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutkan tidak dimasukkan ke hatinya , bukan?’
            ‘Ada, Tuhanku.’
            ‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antar kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin, engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kwraknya!’
            Semua jadi pucat pasti tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu sakah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
            ‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh
            ‘Tidak, kesalahan engkau, karena engkau telah mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembayang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,melupakan kehidupan anak istrimu sendiri,  sehingga mereka itu kocar-kacir selamuanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semaunya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.’
            Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kedengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
            Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa kau tak pergi menjenguk.
            “Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
            “Kakek.”
            “Kakek?”
            “Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
            “Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercenggang-cenggang.
            Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
            “Ia sudah pergi,” jawab istri Aji Sidi.
            “Tidak ia tahu kakek meninggal?’
            “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
            “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa perbuatan oleh Aji Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
            “Kerja.”
            “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
            “Ya, dia pergi kerja.”

No comments :

Post a Comment