KAJIAN INTERTEKSTUAL CERPEN
“GURU” KARYA PUTU WIJAYA DAN CERPEN “SAKSI
BISU PENGORBANAN GURU”
KARYA EVANGELINA TESSIA
PRICILLA
OLEH
SAMSUDDIN
A.
Pendahuluan
Cerpen sebagai
salah satu jenis karya sastra yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian apa
saja yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia. Sebagaimana sebuah
fiksi, cerpen memiliki unsur-unsur intrinsik cerita seperti tema, alur,
perwatakan, latar, ketegangan, sudut pandang, kesatuan dan gaya bahasa
(Zulfahnur dkk, 1996: 62). Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (cerpen)
adalah cerita yang pendek. Ciri dasar lain dari cerpen adalah sifat rekaan.
Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan
kejadian yang sebenarnya, tetapi Murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya,
berdasarkan hasil pengamatannya atas kenyataan kehidupan. Dengan demikian,
banyak hal yang diperoleh dari karya sastra untuk memperkaya pengertian kita
tentang hidup. Karena itulah banyak orang melakukan penelitian terhadap karya
sastra baik novel, cerpen, puisi maupun drama dengan tujuan untuk memahami apa
yang tertulis dan tersirat dalam karya sastra dan relevansinya dengan
kehidupan.
Cerpen
dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan
unsur yang membangun karya sastra (cerpen) dari dalam. Unsur ini antara lain:
tokoh, tema, latar, alur sudut pandang dan gaya bahasa. Tokoh merupakan
individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam sebuah karya sastra. Individu
ini sengaja direka oleh pengarang untuk mengemban tema tertentu. Tema ini bisa
berupa masalah sosial, politik, budaya, olah raga dan kesehatan, pertahanan
keamanan dan seni. Latar merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa.
Tempat terjadinya peristiwa ini dapat berupa kantor, hotel, rumah, kebun,
sekolah dan lain. Sedangkan waktu terjadinya peristiwa dapat berupa pagi, siang
dan malam hari. Setiap peristiwa pasti terjadi pada tempat dan ruang tertentu.
Alur merupakan rentetan peristiwa yang dijalani tokoh. Sebuah peristiwa dapat
disorot dari awal sampai akhir. Bisa juga terjadi sebaliknya. Sebuah peristiwa
disorot dari belakang. Kemudian mencari hal-hal yang menyebabkan sebuah
peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang terjadi pertama mengikuti pola rentetan
peristiwa maju atau alur maju, sedangkan
sorotan peristiwa yang kedua disebut alur mundur. Sudut pandang
merupakan cara pengarang menempatkan diri dalam cerita. Apakah seorang
pengarang masuk dan menjadi bagian dari cerita atau sekedar menjadi pencerita
tanpa memasukan dirinya sebagai tokoh. Ada juga, pengarang memasukan dirinya
dalam cerita. sekaligus juga menjadi tokoh dalam cerita. sudut pandang pertama
disebut sudut pandang orang pertama, sedangkan sudut pandang yang kedua disebut
sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasa cara pengungkapan seseorang dalam sebuah
cerpen. Apakah seorang penulis menggunakan gaya bahasa serius, formal, setengah
formal, tidak formal atau bahasa yang bercampur dengan dialek kedaerahan.
Cerpen “Guru”
karya Putu Wijaya dan cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina
Tessia Pricilla merupakan dua cerpen yang mengisahkan kehidupan guru dari sudut
pandang yang berbeda. Cerpen Guru karya Putu Wijaya mengisahkan sisi kehidupan
seorang guru dari sisi bisnis. Sedangkan cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru”
karya Evangelina Tessia Pricilla mengisahkan guru sebagai pendidik anak-anak,
mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya mengisahkan kehidupan
guru dalam hubungannya dengan dunia usaha, dunia bisnis. Menjadi guru bagi
karyawan pada perusahaan yang dipimpinnya. Sedangkan cerpen “Saksi Bisu
Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla mengisahkan ketulusan guru
dalam menjalankan profesinya, mendidik anak-anak tanpa pamrih.
Cerpen “Guru”
karya Putu Wijaya menyuguhkan kisah tentang perbedaan pandangan antara ayahnya
dengan Takasu, tokoh utama dalam cerpen dalam memahami makna kata guru. Sang ayah memahami kata guru secara sempit, sebatas pada orang yang berprofesi sebagai pendidik pada lembaga
pendidikan formal. Pemahaman ini melahirkan sikap tidak rela. Sebab dalam
pandangan orang tua Takasu, guru yang berprofesi sebagai pendidik pada sebuah lembaga
pendidikan formal adalah profesi yang sangat tidak menjanjikan kelimpahan
materi. Profesi itu sama sekali tidak bergensi dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara Takasu memahami kata guru secara
luas. Guru tidak hanya sebatas pada orang yang berprofesi sebagai pendidik pada
sebuah lembaga pendidikan formal. Akan tetapi, selama profesi itu mengarahkan
orang pada hal-hal yang bersifat mendidik dan mengajar, meskipun tidak berada
pada pendidikan formal, maka profesi itu juga tetap dianggap sebagai guru.
Pandangan ini diwujudkan oleh Takasu sebagai seorang guru bagi sejumlah
karyawan di perusahaan yang dipimpinnya. Pandangan ini sama dengan pandangan
yang dicita-citakan ayahnya. Menjadi seorang konklomerat. Lebih dari itu,
Takasu mewujudkan cita-citanya lebih dari yang dipikirkan ayahnya.
Cerpen “Saksi
Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla” berkisah tentang
kehidupan seorang guru dengan berbagai kesederhanaan dan ketulusannya dalam
menjalankan profesinya sebagai pendidik. Cerpen ini mengisahkan sisi kehidupan
guru secara lurus. Tidak ada gebrakan-gebrakan yang dilakukan. Ia hanya
mengajar, mendidik sejak profesi itu dijalaninya sampai menginggal. Semua itu
dikisahkan secara datar saja. Demikian yang dijalani oleh Marina, tokoh utama
dalam cerpen ini.
Kajian
intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk tertentu, misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur
intrinsik, seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa di
antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian
intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian. Tujuan kajian interteks
sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya
tersebut. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan
unsur kesejarahan sehingga pemberian makna itu lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejarahan (Teeuw, 1988: 62-65).
Masalah ada
tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran
pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (1989:10) mengartikan intertertekstualitas
sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks, suatu tradisi budaya,
sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu
pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.
Kajian
intertekstual dalam penelitian ini difokuskan pada tiga aspek, yakni (1) tokoh,
(2) plot, dan 3) Setting. Tokoh
merupakan pelaku yang disajikan dalam karya sastra drama atau cerita Abrams
(Abidin, 1991:4). Tokoh cerita dalam uraian ini adalah watak sang tokoh.
Penokohan dalam menampilkan keseluruhan ciri atau watak seseorang tokoh cerita
memulai percakapan atau dialog dan perbuatan (action). Plot atau alur merupakan
sambung- sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat. Alur tidak
hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah
menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung-sinambungnya peristiwa itu,
terjadilah sebuah cerita (Abidin, 1991:3). Setting
atau latar merupakan lingkungan, dan lingkungan terutama adalah lingkungan
rumah tangga, dan merupakan metonimi atau metafora, pernyataan (perwujudan)
dari watak (Esten, 1990:92.
Tokoh dalam
cerpen “Guru” karya Putu Wijaya menyuguhkan Takasu sebagai tokoh utama dan
ayah, ibu sebagai tokoh tambahan. Plot dalam
cerpen Guru karya Putu Wijaya adalah kilas balik, menceritakan peristiwa tidak
secara beruturan. Setting dalam
cerpen Guru karya Putu Wijaya adalah rumah kos Takasu.
Tokoh dalam
cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla adalah
Marina, tokoh utama dan Rumah sebagai tokoh tambahan. Plot dalam cerpen Saksi Bisu Pengorbanan Guru karya Evangelina
Tessia Pricilla adalah maju, kisah disampaikan penulis menurut urutan
kronologis. Setting dalam cerpen
Saksi Bisu Pengorbanan Guru karya Evangelina Tessia Pricilla adalah rumah reot.
Kedua cerpen
di atas layak dikaji. Dilihat dari sisi tokoh, plot dan setting.
Tokoh-tokoh pada kedua cerpen di atas layak dicontoh dalam kehidupan modern.
Tokoh Takasu merupakan pribadi yang mewakili kehidupan modern, sedangkan Marina
merupakan pribadi yang mempertahankan jiwa ketulusan dan kesabaran seorang
guru. Pribadi yang mempertahankan karakter bangsa Indonesia. Kedua bentuk sisi
kehidupan yang dikisahkan pada kedua cerpen di atas didukung oleh plot dan setting yang baik. Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya menggunakan plot kilas balik dengan rumah kos
sebagai setting. Cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya
Evangelina Tessia Pricilla menggunakan plot
maju dengan rumah reot sebagai setting.
Perbedaan ketiga unsur tersebut mendorong penulis untuk melakukan
penelitian “Kajian Intertekstual dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya dan
cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla”.
B.
Pembahasan
a.
Pengertian
Cerpen
Menurut bentuk
fisiknya, cerpen adalah cerita yang pendek, cerita atau narasi yang fiktif
(tidak benar-benar terjadi dimana saja dan kapan saja) secara relatif pendek
(Sumardjo, 1997:37) mengatakan bahwa cerpen adalah penyajian suatu keadaan
tersendiri atau kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal kepada jiwa
pembaca. Cerpen tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu.
Menurut
Sudjiman (1995:8) cerpen merupakan cerita rekaan, tetapi yang ditonjolkan hadir
berdasarkan kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian cerpen dapat dibedakan
dengan karangan non-fiksi yang mengungkapkan gagasan tau pendapat berdasarkan
fakta dan realita.
Pendapat-pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang fiktif, relatif
singkat, dan memberikan kesan tunggal terhadap pembaca mengenai kenyataan hidup
sehari-hari. Cerita pendek, sebagai salah satu jenis prosa fiksi pada
hakikatnya merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan
keyakinan, kebenaran, gagasan, sikap dan pandangan hidupnya, serta hal-hal lain
yang tergolong sebagai unsur fiksi yang ingin disampaikan.
Keutuhan dan
kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya.
Summer (Zulfahnur dkk, 1996:62) mengatakan bahwa suatu sketsa pribadi, sebuah
catatan kejadian bukanlah cerita pendek. Hal itu baru akan menjadi cerita
pendek juga ada perubahan sikap dalam menulis dan tujuan pengarangnya.
Sebuah cerpen
harus lengkap dan utuh, artinya harus memenuhi unsur-unsur bentuk seperti alur
cerita, tokoh cerita, tema cerita, suasana cerita, latar cerita, sudut pandang
pencipta dan gaya pengarangnya. Namun, pengarang dapat memusatkan (fokus) pada
satu unsurnya saja yang mendominasi cerpennya (Zulfahnur dkk, 1996:62).
b.
Fakta
Cerita sebagai Bagian dari Intrinsik Cerpen
Fakta cerita sebagai
bagian dari unsur intrinsik karya sastra dibangun oleh tiga unsur, yakni 1)
tokoh, 2) plot, dan 3) Setting. Berikut ini diuraikan secara
rinci mengenai ketiga aspek tersebut.
a)
Tokoh
Tokoh adalah
pelaku yang disajikan dalam karya sastra drama atau cerita Abrams (Abidin,
1991:4). Tokoh cerita dalam uraian ini adalah watak sang tokoh. Penokohan dalam
menampilkan keseluruhan ciri atau watak seseorang tokoh cerita memulai
percakapan atau dialog dan perbuatan (action).
Suatu
peristiwa terjadi oleh karena aksi atau reaksi tokoh-tokoh, mungkin antara
tokoh dengan tokoh, antara tokoh dengan lingkungannya atau alam sekitarnya,
atau mungkin antara tokoh dengan dirinya sendiri. Tan pa tokoh tidak mungkin
ada cerita (Mido, 1994:21). Tokoh-tokoh yang dijadikan pelaku dalam sebuah
cerpen hendaknya tokoh hidup, bukan tokoh mati yang merupakan boneka di tangan
pengarang. Tokoh hidup ialah tokoh yang berpribadi, berfatak dan memiliki
sifat-sifat tertentu.
Penampilan
tokoh dalam menerangkan suatu lakonan cenderung selalu menunjukkan kesesuaian
dengan watak yang harus dibawakan oleh tokoh tersebut. Keadaan fisik. Seperti
kekar atau kurus, besar atau kecil, juga cara ia berpakaian semua merupakan
perangsang paling awal yang mengiring perhatian kita untuk menentukan karakter
(Balawa, 2001:15) . tokoh yang selalu membawa kebenaran dalam suatu cerita
disebut tokoh protagonist, sedangkan tokoh yang selalu menghalangi atau
menetang kebenaran disebut tokoh antagonis.
Kecendrungan
cerpen modern adalah penekanan pada unsur perwatakan tokohnya. Ini tidak
berarti bahwa pada cerpen lama perwatakan tidak dipentingkan. Karakter dalam
cerita tidak sama dengan karakter pribadi orang-orang yang kita jumpai dalam
kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan dalam kehidupan sehari-hari begitu
kompleks, tetapi Kepribadian dalam cerita hanya perlu menonjolkan beberapa
sifat saja. Untuk mengenali karakter tokoh dalam sebuah cerpen ada beberapa
jalan yang dapat menuntun kita sampai pada sebuah karakter, yaitu: (1) melalui
yang diperbuatnya, tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam
situasi krisis, (2) melalui ucapan-ucapan dan apa yang diucapkan oleh seorang
tokoh cerita dapat mengenali apakah ia orang tua, orang berpendidikan rendah
atau tinggi, sukunya, pria, wanita, berbudi halus atau kasar dan sebagainya,
(3) melalui penggambaran fisik tokoh, misalnya bentuk tubuh dan wajah, (4)
melalui pikiran-pikirannya, melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh
adalah salah satu cara penting untuk membentangkan perwatakannya, (5) melalui
penerangan langsung, dalam hal ini membentangkan panjang lebar watak tokoh
secara langsung.
Ada beberapa
macam tokoh, berdasarkan perannya dalam cerita terdapat tokoh utama dan tokoh
tambahan. Tokoh utama adalah pelaku yang diutamakan dalam suatu cerita. Ia
mungkin paling penting dan paling banyak muncul atau mungkin paling banyak
dibicarakan. Sedangkan tokoh tambahan adalah pelaku yang kemuncuannya dalam
cerita paling sedikit atau tidak begitu dipentingkan kehadirannya. Adapun
macam-macam tokoh dalam cerita rekaan menurut Sudjiman (1995:17) adalah sebagai berikut.
a. tokoh sentral dan tokoh
bawahan
Pelaku utama
yang memainkan peran pimpinan, yang lazim bertindak sebagai pembawa tema cerita
disebut tokoh sentral. Pelaku yang tidak sentral, dimana kehadiranya sangat
diperlukan untuk menunjang tokoh utama yang bertindak sebagai pelaku utama
disebut tokoh bawahan.
b. tokoh datar dan tokoh
bulat
Tokoh datar
adalah tokoh dalam cerita rekaan yang disoroti atau yang diungkapkan dari satu
segi wataknya saja. Sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks ialah tokoh yang
ditampilkan lebih dari satu ciri dan satu segi wataknya saja, sehingga tokoh
ini bisa dibedakan dengan tokoh-tokoh lainnya.
b)
Plot atau Alur
Plot atau Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan
hukum sebab-akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang
lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan
sambung-sinambungnya peristiwa itu, terjadilah sebuah cerita (Abidin, 1993:3).
Tarigan
(2000:105) mengemukakan bahwa alur adalah peristiwa jalannya suatu lakon,
seperti hanya sastra lainnya, maka suatu lakon haruslah bergerak dari suatu
permulaan, melalui suatu pertengahan, menuju satu akhir. Dalam bagian lain
istilah ini dikenal dengan eksposisi. Konflikasi, dan resolusi. Eksposisi
adalah yang mendasari serta mengatur gerak yang berkaitan dengan masalah waktu
dan tempat. Dalam eksposisi inilah diperkenalkan para tokoh pelaku terhadap
pembaca. Konflikasi bertugas mengembangkan konflik dan resolusi memberi
pemecahan dan semua peristiwa yang terjadi.
Alur adalah
suatu rangkaian peristiwa dalam cerita yang mempunyai penekanan hubungan sebab
akibat sehingga terbentuk sebuah jalinan cerita yang utuh untuk mencapai suatu
penyelesaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Mido (1994:41), yang mengemukakan
bahwa rangkaian kejadian dan dikerjakan oleh pelaku-pelaku dan sepanjang roman
atau novel yang bersangkutan disebut alur. Berdasarkan kualitas peristiwa,
jalinan peristiwa dan perkembangan konflik dalam cerita rekaan, alur cerita
rekaan dibedakan sebagai berikut.
a. alur utama dan alur
bawahan
Menurut Semi
(dalam Asniah, 1999:17) alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok,
sedangkan alur bawahan adalah alur yang merupakan bingkai cerita pokok yang
membangun cerita.
b. alur erat dan alur longgar
Alur erat
adalah jalinan hubungan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya sangat padu
dalam karya sastra, sehingga memadukan salah satu peristiwa keutuhan cerita
akan terganggu. Artinya cerita tersebut tidak dapat dipotong-potong. Sedangkan
alur longgar adalah jalinan hubungan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya
tidak padu dalam karya sastra sehingga meniadakan salah satu peristiwa,
keutuhan cerita tidak akan terganggu (Esten, 1987:26).
c.
alur terusan dan alur balikan
Pada alur
terusan atau alur linear cerita dinyatakan secara kronologis, yaitu cerita
disusun berdasarkan urutan kejadian sebagaimana mestinya. Sedangkan pada alur
balikan disusun berdasarkan kronologisnya, melainkan pengarang menoleh ke
belakang, ke masa lampau untuk menceritakan sesuatu yang pernah terjadi tetapi
tetap ada kaitannya dengan kejadian yang berlangsung sekarang.
d. alur datar dan alur
menanjak
Sebuah cerita
yang berkembang peristiwanya hampir-hampir tidak ada atau tidak terasa adanya
gawatan, klimaks, dan leraian disebut alur datar. Sedangkan bila jalinan
peristiwa itu terasa semakin menanjak sesuai dengan sifatnya alur itu dikatakan
beralur mananjak (Asniah, 1999:18).
c)
Setting atau Latar
Latar dalam
fiksi bukan hanya sekedar background,
artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadi. Sebuah
cerpen/novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam waktu singkat.
Harus ada tempat dan ruang kejadian. Latar bisa berarti banyak yaitu tempat
tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dan watak-watak tertentu akibat
situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu (Sumardjo, 1997:76).
Latar
menunjukkan kepada pembaca kapan dan dimana peristiwa itu terjadi dan mempunyai
hubungan dengan eksposisi. Latar adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
dalam suatu cerita atau latar belakang fisik, unsur tempat dan waktu dalam
suatu cerita (Abidin, 1991:4).
Esten
(1990:92) mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama adalah
lingkungan rumah tangga, dan merupakan metonimi atau metafora, pernyataan
(perwujudan) dari watak. Menurut Hutagalung (Mido, 1994:24), latar adalah
gambaran tempat dan waktu atau segala situasi di tempat terjadinya peristiwa.
Latar yang baik selalu dapat membantu elemen-elemen yang lain, seperti alur dan
penokohan. Latar bukanlah hanya pelukisan waktu dan tempat. Suatu adegan sedih
akan lebih terasa bila didukung oleh lukisan suasana seperti awan mendung ,
kesunyian dan sebagainya. Menurut Mido, ada tiga unsur latar, yaitu : (1)
waktu-masa kini-masa lalu-masa yang akan datang, (2) tempat, dan (3) sosial.
a.
Konsep
Intertekstual
Kajian interteks berangkat dari asumsi bahwa kapan pun
karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi keksongan budaya. Unsur
budaya, termasuk konvensi dan trasisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus
berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini kita dapat
mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel,
di masyarakat Indonesia telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya
seperti pelipur lara. Sebelum penyair pujangga Baru menulis puisi-puisi modern,
di masyarakat telah ada puisi lama, seperti pantun dan syair di samping mereka
juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan
80-an. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatanny
menulis puisi, di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga
baru. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa terlihat adanya kaitan mata
rantai antara penulis karya sastra dengan unsur kesejarahan. Penulisan karya
sastra tidak mungkin lepas dari unsur kesejarahan dan pemahaman terhadapnya pun
haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah
karya, biasanya secara penuh baru bisa digali dan diugpak secara tuntas dalam
kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.
Karya-karya yang ditulis kemudian, bisanya mendasarkan
diri pada karya-karya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan
cara meneruskan maupun menyimpangi konvensi. Riffatere (dalam Teew, 1983:64-65)
menyatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang
terkandung dalam karya sastra sebelumnya. Hal itu menunjukan keterkaitran karya
dari karya-karya lain yang melatarbelakanginya.
Karyasa sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi
karya-karya kemudian disebut hypogram (Riffaterre,
1983:23). Istilah hypogram diindonesiakan
menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak tampak secara eksplisit bagi
penulis karya yang lain. Wujud hypogram mungkin
berupa penurusan konvensi, suatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan
pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teew,
1983:65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat disebut mitos pengukuhan
(mith of concern) sedangkan penolakan
tradisi disebut mitos pemberontakan (mith
of freedom). Kedua hal itu dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam
penulisan teks kesastraan. Hal ini sesuai dengan hakikat kesastraan yang selalu
berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos
pemberontakan (Nurgiyantoro, 1991:51).
Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam
penulisan karya sesudahnya menjadi perhatian utama kajian intertekstual.
Misalnya, lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya lain yang diduga
menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram
dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin juga tidak disadari oleh
pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogrammnya mungkin
berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang
berlaku sebelumnya. Kita lihat, Anwar menolak wawasan estetika sajak-sajak
angkatan sebelumnya dan menawarkan wawasan estetika baru yang ternyata mendapat
sambutan secara luas. Hal itu terlihat, misalnya, dengan banyaknya penyair
sesudahnya berguru pada puisi-puisinya sehingga hal itu pun akhirnya menjadi
konvensi pula.
Kemudian pada tahun 70-an muncul Sutarji Calzoum
Bachri yang mreakhi puisi-puisi Anwar juga dengan cara menolak wawasan estetika
yang telah mentradisi, yaitu dengan kredonya yang ingin membebaskan kata dari
belenggu makna dan tata bahasa. Penolakan Bacri terhadap Anwar juga disebabkan
ia menawarkan wawasan estetikanya sendiri (Nurgiyantoro, 1991:52).
Dalam kaitannya dengan masalah hipogram, Kristeva
(dalam Culler, 1977:139) mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mozaik
kutipan-kutipan. Tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks
lain. Hal itu berarti bahwa yang dipandang baik dari teks-teks sebelumnya,
kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang
bersangkutan. Dengan demikian, walaupun sebuah karya berupa dan mengandung
unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan
daya kreativitas sendiri, konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang
dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.
Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan denga kerja
yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan
kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah
mengolah dan mentransformasikan karya-karya yang lain ke dalam karya sendiri.
Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain, mungkin berupa
konvensi-konvensi, bentuk-bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat
dikenali (Pradopo, 19987:228). Usaha mengidentifikasi hal itu dapat dilakukan
dengan memperbandingkan antara teks-teks tersebut.
Unsur-unsur ambilan sebuah teks dari teks-teks
hipogramnya yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan atau
berbagai unsur intrinsik lainnya. Namun dapat pula berupa sifat kontradiksinya
dapat menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga karenanya, orang mungkin
tidak mengenali atau bahkan melupakan hipogramnya (Riffaterre, 1980:165).
Hipogram tidak akan komplit, melainkan hanya bersifat parsial yang berwujud
tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu ke dalam
bentuk-bentuk tertentu. Pengambilan bentuk-bentuk itu ditransformasikan dapat
hanya berupa varian leksikal, denotasi, konotasi, pilihan paradigmatis
kata-kata atau pemakaian bentuk sinonim.
Penulisan teks kesastraan, orang membutuhkan konvensi,
aturan, namun hal itu sekaligus akan disimpangkan. Menurut Levin (dalam Teew,
1984:101) bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan
dengan penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tunduk
seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki daya kreativitas
tinggi selalu memberontoak pada segala sesuatu yang telah mentradisi dan ingin
menciptakan yang baru. Namun, pembaruan yang ekstrem dengan menolak semua
konvensi, akan berakibat karya yang dihasilkan kurang dapat dipahami.
Penyimpangan perlu dilakukan tetapi masih dalam batas-batas tertentu sehingga
akan ada celah bagi pembaca yang memang telah ada dalam konvensi tertentu.
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu dipredisikan
sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Masalah intertekstual
lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiblakan, melainkan bagaimana kita
memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang
lain. Misalnya, hal yang dilakukan oleh Teew (1983: 66-69) dengan
memperbandingkan antara sajak “berdiri Aku” karya Amir Hamzah dengan “Senja di
Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar. Pradopo (1987:232-253) yang
memperbandingkan beberapa sajak Amir Hamzah dengan “Senja di Pelabuhan Kecil”
karya Chairil Anwar. Nurgiyantoro (1989: 11-20) yang mencoba meneliti hubungan
interteks antara puisi-puisi Pujangga baru dengan puisi lama pantun. Berikut
ini disajikan contoh hubungan interteks tokoh wanita Tuti dalam Layar Terkembang dan Tini dalam Belenggu dengan tokoh-tokoh perempuan
pada sejumlah novel Balai Pustaka.
Adanya
hubungan intetes dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah
yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang
lain. Unsur-unsur hipogram, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan dan
pengalamannya membaca teks-teks lain. Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram
pada satu karya dari karya-karya lain pada hakekatnya merupakan penerimaan atau
reaksi pembaca.
Hasil
penelitian diawali gambaran umum mengenai cerpen “Guru” karya Putu Wijaya dan
“Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla. Setelah
gambaran umum, dilanjutkan dengan diuraikan mengenai kajian intertekstual dua
cerpen, yaitu cerpen “Guru” karya Putu Wijaya dan “Saksi Bisu Pengorbanan Guru”
karya Evangelina Tessia Pricilla. Uraian mengenai kajian intertekstual dalam
penelitian ini difokuskan pada tiga aspek, yaitu (1) tokoh, (2) latar, dan (3)
alur. Ketiga unsur ini menurut Stanton disebut fakta cerita. Selain tiga unsur
di atas diuraikan pula unsur kesejarahan, sisi kehidupan pengarang kedua cerpen
di atas untuk menunjukan perbedaan dan persamaannya.
a.
Gambaran
Umum Cerpen
Gambaran umum
cerpen dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) cerpen
“Guru” karya Putu Wijaya, dan (2) cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya
Evangelina Tessia Pricilla.
a)
Cerpen
“Guru” karya Putu Wijaya
Cerpen Guru”
karya Putu Wijaya berkisah tentang Takasu yang bercita-cita menjadi seorang
guru. Cita-cita ini tidak disetujui oleh kedua orangtuanya. Bagi mereka, guru
adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan kebahagiaan di masa yang akan datang.
Mereka ingin agar Takasu menjadi seorang pengusaha, konglomerat atau presides
sekalian. Meskipun pada awal cerita kedua orang tua Takasu tidak setuju
mengenai cita-cita Takasu, memandang remeh dan menghina Takasu dan
cita-citanya, bagian akhir cerita semua itu terbantah, sebab Takasi kini
menjadi pengganti kepala keluarga. Ia menanggung kehidupan rumah tangga mereka
sekarang.
Cita-cita
Takasu sudah merupakan hal yang tidak bisa digoyahkan oleh siapa pun. Berulang
kali orang tuanya membujuk, merayu bahkan sampai mengancamnya. Ia tetap
konsisten pada cita-citanya. Beberapa kali diancam, diberi waktu untuk berpikir
bahkan sampai dihentikan uang kuliahnya. Ia tetap kokoh pada citi-cita yang
telah menyatu dalam hatinya.
Cerpen Guru”
karya Putu Wijaya mempunyai 3 orang tokoh. Mereka adalah Takasu, ayah dan
istri. Takasu sebagai tokoh utama, sederhana, tak berkembang dan tipikal,
sedangkan ayah dan istri merupakan tokoh tambahan, kompleks, berkembang dan
netral.
Alur dalam
cerpen “Guru” karya Putu Wijaya adalah alur mundur. Peristiwa dikisahkan tidak
secara kronologis. Peristiwa dikisahkan dari peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi kemudian peristiwa yang sedang dan akan terjadi.
Latar dalam
cerpen “Guru” karya Putu Wijaya adalah rumah kos Takasu sebagai latar tempat.
Latar tersebut didukung oleh ide cerita, yaitu mahasiswa. Takasu sebagai tokoh
utama tidak dikisahkan apakah sedang kuliah atau tidak. Akan tetapi, dari
pernyataan-pernyataan bapak dapat diketahui bahwa Takasu sedang menuntut ilmu
pada salah satu perguruan tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan ayah ketika
dalam keadaan emosi “saya akan menghentikan uang kuliahmu”. Pernyataan ini
jelas menunjukan bahwa Takasu adalah seorang mahasiswa. Selain, itu, pada akhir
cerpen, Takasu mendapat penghargaan Doktor Honoris Causa dari sebuah
universitas.
b)
Cerpen
“Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla
Cerpen “Saksi Bisu
Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla berkisah tentang sisi kehidupan
guru dengan segala kehidupannya yang serba sederhana. Dikisahkan dalam cerpen
tersebut, guru yang diwakili oleh tokoh Marina tinggal di rumah reot, sunyi dan
dan sepi. Kehidupan yang sangat jauh dari kemewahan duaniawi.
Dalam kondisi
yang serba sederhana dan kekurangan tersebut, tokoh Marina tetap menjalankan
profesinya sebagai guru. Marina tidak hanya mengajar di sekolah, akan tetapi
dia juga bersedia mengajari anak-anak di ruamahnya jika mereka memintanya.
Kisah
kehidupan guru yang diwakili tokoh Marina dikisahkan sejak menjadi guru sampai
meninggal. Meskipun ketika sakit dan meninggal tidak ada satu pun siswanya yang
sempat hadir, dalam jiwanya tetap terpatri nilai-nilai ketulusan dalam
menjalankan profesinya. Saya bisa mati. Tetapi guru akan tetap hidup dalam jiwa
anak-anak yang pernah dibesarkannya. Begitu ungkapannya menjelang kematiannya.
b.
Tokoh
Uraian
mengenai tokoh dalam penelitian ini dilakukan pada Cerpen “Guru” karya Putu
Wijaya dan “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya Evangelina Tessia Pricilla.
Masing-masing uraian tokoh dibedakan berdasarkan kriteria: (1) berdasarkan
peranan atau tingkat pentingnya dalam sebuah cerita, (2) berdasarkan
perwatakaanya, (3) berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan,
dan (4) berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh.
a)
Tokoh
dalam Cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya
Tokoh dalam
cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya terdiri atas tiga orang, yaitu (1) Takasu, (2)
Ayah, (3) Istri. Ketiga tokoh tersebut dibedakan berdasarkan kriteria: (1)
berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya dalam sebuah cerita, (2)
berdasarkan perwatakaanya, (3) berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya
perwatakan, dan (4) berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh.
Tokoh
berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya dalam cerita, Takasu sebagai tokoh
utama, ayah dan Istri sebagai tokoh tambahan. Takasu merupakan tokoh yang
tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus. Takasu mendominasi sebagian
besar cerita. Takasu sebagai tokoh utama didukung oleh 33 peristiwa dari 43
peristiwa yang ada dalam cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya. Peristiwa-peristiwa
tersebut adalah sebagai berikut:
1. kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar
cita-cita Takasu (menjadi guru);
2. sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita
Takasu (tidak setuju);
3. nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi
Takasu untuk mengubah sikap);
4. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
5. tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap
Takasu (berusaha mempengaruhi);
6. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
7. ajakan orang tua Takasu untuk berpikir
kembali;
8. sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
9. berusaha merayu Takasu (membawa makanan
kesukaannya dan laptop);
10. sikap Takasu (senang);
11. pertanyaan orang tua mengenai hasil
renungan Takasu;
12. jawaban Takasu (tetap ingin jadi guru);
13. sikap orang tua Takasu (marah);
14. usaha mempengaruhi Takasu (menasehati dan
meyakinkan Takasu);
15. sikap Takasu (diam);
16. pertanyaan orang tua Takasu (sambil
menunjukan kunci mobil);
17. jawaban Takasu (menjadi guru);
18. sikap orang tua mengenai jawaban Takasu
(marah, mengambil kembali kunci mobil);
19. sikap Takasu pada kemarahan orang tua
(minta maaf, menguatkan kembali cita-citanya, ingin jadi guru);
20. ancaman ayah Takasu (uang sekolah
dihentikan);
21. pertanyaan orang tua Takasu (tiga bulan
kemudian);
22. jawaban Takasu (mau jadi guru);
23. kemarahan orang tua Takasu (mengancam akan
membunuh Takasu);
24. sikap Takasu (menentang ayahnya, guru tidak
bisa dibunuh);
25. sikap Takasu (berusaha meyakinkan ayahnya);
26. pertanyaan orang tua Takasu (menentang
Takasu, mencari informasi yang mempengaruhi pikiran Takasu);
27. jawaban Takasu (menunjuk ayahnya);
28. kekagetan ayah Takasu (mencari alasan dan
berkelit, kembali meyakinkan Takasu);
29. kemarahan istrinya pada sikap suaminya
kepada Takasu;
30. perintah istri untuk kembali mencari
Takasu;
31. sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah
pergi (bertengkar keras);
32. keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti
memikul beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan);
33. anugrah bergensi (gelar doktor honoris
causa untuk Takasu)
Ayah dan istri
sebagai tokoh tambahan. Tokoh tersebut hanya dimunculkan beberapa kali dalam
cerita. Porsi penceritaan yang relatif pendek. Dalam cerpen “Guru” karya Putu
Wujaya kemunculan tokoh tambahan ini relatif banyak. Meskipun demikian,
kehadiran tokoh-tokoh ini untuk menyoroti tokoh utama. Ayah dan istri sebagai
tokoh tambahan didukung oleh 22 peristiwa dari 43 peristiwa yang ada dalam
cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah sebagai
berikut:
- sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu (tidak setuju);
- nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap);
- tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu (berusaha mempengaruhi);
- ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
- berusaha merayu Takasu (membawa makanan kesukaannya dan laptop);
- pertanyaan orang tua mengenai hasil renungan Takasu;
- sikap orang tua Takasu (marah);
- usaha mempengaruhi Takasu (menasehati dan meyakinkan Takasu);
- pertanyaan orang tua Takasu (sambil menunjukan kunci mobil);
- sikap orang tua mengenai jawaban Takasu (marah, mengambil kembali kunci mobil);
- ancaman ayah Takasu (uang sekolah dihentikan);
- pertanyaan orang tua Takasu (tiga bulan kemudian);
- kemarahan orang tua Takasu (mengancam akan membunuh Takasu);
- sikap ayah (semakin marah);
- pertanyaan orang tua Takasu (menentang Takasu, mencari informasi yang mempengaruhi pikiran Takasu);
- kekagetan ayah Takasu (mencari alasan dan berkelit, kembali meyakinkan Takasu);
- sikap suami (bingung);
- sikap bapak (tambah bingung);
- sikap ayah (kembali menemui Takasu);
- sikap bapak ketika melihat dan membaca secarik kertas (gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain);
- sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah pergi (bertengkar keras);
- orang tua Takasu sudah Tua;
Istri sebagai
tokoh tambahan didukung oleh 5 peristiwa dari 43 peristiwa yang ada dalam
cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah sebagai
berikut:
- kemarahan istrinya pada sikap suaminya kepada Takasu;
- perintah istri untuk kembali mencari Takasu ;
- desakan istri kepada suami;
- sikap bapak atas kedatangan istrinya.
Berdasarkan
perwatakaanya, tokoh dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks (complex character). Berdasarkan kriteria
tersebut, Takasu sebagai tokoh sederhana, ayah dan istri sebagai tokoh
kompleks.
Takasu sebagai
tokoh sederhana hanya dikisahkan dari satu sisi kehidupan saja. Tokoh Takasu
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana
bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang
telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus-menerus terlihat dalam
cerita yang bersangkutan. Perwatakan tokoh sederhana yang benar-benar sederhana,
dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat, atau hanya sebuah frasa saja.
“Takasu hanya ingin jadi guru”. Tokoh Takasu melakukan berbagai tindakan, namun
semua tindakannya itu akan dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang
telah diformulakan itu. Uraian di atas dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa
berikut ini.
- kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita Takasu (menjadi guru);
- sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu (tidak setuju);
- nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap);
- sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
- tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu (berusaha mempengaruhi);
- sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
- ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
- sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
- berusaha merayu Takasu (membawa makanan kesukaannya dan laptop);
- sikap Takasu (senang);
- pertanyaan orang tua mengenai hasil renungan Takasu;
- jawaban Takasu (tetap ingin jadi guru);
- sikap orang tua Takasu (marah);
- usaha mempengaruhi Takasu (menasehati dan meyakinkan Takasu);
- sikap Takasu (diam);... 42 keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti memikul beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan); 43 anugrah bergensi (gelar doktor honoris causa untuk Takasu).
Ayah sebagai
tokoh kompleks dideskripsikan penulis dari berbagai sisi kehidupan. Peristiwa
awal, tokoh ayah digambarkan sebagai seorang yang sangat keras berjuang
mengubah cita-cita Takasu. Tokoh ini ingin agar Takasu menjadi seorang
pengusaha. Pada bagian pertengahan peristiwa mulai perlahan-lahan berubah. Guru
yang dipikirkan ternyata lebih sempit daripada yang dipikirkan oleh Takasu.
Pada bagian akhir peristiwa, ia menyesal. Semua perbuatan yang dilakukan pada
Takasu pada awal peristiwa dianggap benar oleh tokoh ini. penggambaran tokoh
ini didukung oleh peristiwa sebagai berikut.
- kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita Takasu (menjadi guru);
- sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu (tidak setuju);
- nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap);
- sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
- tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu (berusaha mempengaruhi);
- sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
- ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali.
Penggalan-penggalan
peristiwa di atas menggambarkan pandangan ayah pada awal peristiwa. Peristiwa-peristiwa
tersebut berubah pada peristiwa-peristiwa menjelang cerita. Hal itu dapat
dilihat pada penggalan-penggalan peristiwa 36-43 berikut ini.
36. kamar kosong (secarik kertas ditemukan
bertulisan “Maaf, tolong relakan saya jadi guru”);
37. sikap bapak ketika melihat dan membaca
secarik kertas (gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain);
38. sikap bapak atas kedatangan istrinya;
39. sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah
pergi (bertengkar keras);
40. peristiwa 10 tahun lalu;
41. orang tua Takasu sudah Tua;
42. keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti
memikul beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan);
43. anugrah bergensi (gelar doktor honoris
causa untuk Takasu);
tokoh dalam
Berdasarkan
kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh dibedakan ke dalam tokoh
statis, tak berkembang (static character)
dan tokoh berkembang ( developing character). Berdasarkan kriteria
tersebut, tokoh Takasu dalam cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya merupakan tokoh
statis (tak berkembang). Takasu secara esensial tidak mengalami perubahan dan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Takasu tampak seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya
perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antar
manusia. Takasu tak tergoyahkan walau tiap hari dihantam oleh sang ayah. Takasu
memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai
akhir cerita. Takasu sebagai tokoh statis didukung oleh peristiwa sebagai berikut.
1. kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita
Takasu (menjadi guru);
2. sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu
(tidak setuju);
3. nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk
mengubah sikap);
4. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
5. tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu
(berusaha mempengaruhi);
6. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
7. ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
8. sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
....
42. keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti memikul
beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan);
43. anugrah bergensi (gelar doktor honoris causa untuk
Takasu).
Kutipan di
atas menunjukan bahwa Takasu memiliki sikap yang relatif sama. Sejak awal
peristiwa sampai dengan akhir peristiwa tidak ada perubahan sikap dari Takasu.
Dia tetap ingin jadi guru.
Tokoh ayah dan
istri dalam cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya merupakan tokoh berkembang. Tokoh
ayah dan istri mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh ayah dan
istri secara aktif berinteraksi dengan lingkunganya, baik lingkungan social,
alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan
tingkah lakunya. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya, dan
adanya hubungan antarmanusia yang memang bersifat saling mempengaruhi itu,
dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan
perkembangan sikap dan wataknya. Sikap dan watak tokoh ayah dan istri, dengan
demikian, akan mengalami perkembangan dan atau perubahan dari awal, tengah, dan
akhir cerita, sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan. Tokoh
ayah dan istri sebagai tokoh berkembang didukung oleh peristiwa sebagai
berikut.
1. kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita
Takasu (menjadi guru);
2. sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu
(tidak setuju);
3. nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk
mengubah sikap);
4. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
5. tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu
(berusaha mempengaruhi);
6. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
7. ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
8. sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
Kutipan di
atas menunjukan bahwa tokoh ayah dan istri pada awal cerita berusaha untuk
mengubah cita-cita Takasu. Tokoh ayah dan istri secara gigih berjuang ingin
mengubah Takasu yang bercita-cita menjadi seorang guru menjadi pengusaha atau
yang lain. Yang jelas bukan guru. Pada bagian tengah dan akhir cerita, kedua
tokoh ini mulai berkelit sebab fakta menunjukan bahwa yang menanamkan cita-cita
itu adalah mereka sendiri. Pada bagian akhir cerita, tokoh ayah dan istri sadar
dan kembali mengikuti cita-cita Takasu. Berikut ini adalah kutipannya.
37. sikap bapak ketika melihat dan membaca secarik kertas
(gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain);
38. sikap bapak atas kedatangan istrinya;
39. sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah pergi
(bertengkar keras);
40. peristiwa 10 tahun lalu;
41. orang tua Takasu sudah Tua;
42. keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti memikul
beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan);
43. anugrah bergensi (gelar doktor honoris causa untuk
Takasu);
Kutipan di
atas menunjukan perubahan sikap tokoh ayah dan istri pada bagian akhir cerita.
pada kutipan (37) jelas menunjukan kedua orang tua menyalahkan diri sendiri.
Perlakuan yang terjadi pada Takasu perlahan-lahan mulai disesali. Penyesalan
itu diperkuat oleh peristiwa (42 dan 43). Tokoh ayah dan ibu bangga atas
keberhasilan Takasu. Menjadi bagi 10.000 karyawan yang dipimpinnya.
Berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh, tokoh dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh
netral. Berdasarkan kriteria tersebut, tokoh Takasu dalam cerpen “Guru” Karya
Putu Wijaya merupakan tokoh tipikal (tak berkembang). Tokoh Takasu hanya sedikit
ditampilkan keadaan individulalitasnya. Lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaanya. Tokoh Takasu merupakan penggambaran, pencerminan,
atau penunjukan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah
lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di
dunia nyata. Takasu sebagai tokoh tipikal didukung oleh peristiwa sebagai
berikut.
1. kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita
Takasu (menjadi guru);
2. sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu
(tidak setuju);
3. nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk
mengubah sikap);
4. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
5. tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu
(berusaha mempengaruhi);
6. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
7. ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
8. sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
Kutipan di
atas menunjukan bahwa tokoh Takasu hanya sedikit ditampilkan keadaan
individulalitasnya. Hanya satu sisi kehidupan yang disorot. Takasu sejak awal
peristiwa hingga akhir digambarkan sebagai seorang yang bercita-cita menjadi
guru.
Berbeda halnya
dengan tokoh ayah dan istri dalam cerpen “Guru” Karya Putu Wijaya merupakan
tokoh berkembang. Tokoh ayah dan istri bereksistensi demi cerita itu sendiri.
Kedua tokoh ini benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi
dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau
bahkan dialah sebenarnya empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.
Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang
di luar dirinya, seorang yang berasal dari dunia nyata. Tokoh ayah dan istri
sebagai tokoh berkembang didukung oleh peristiwa sebagai berikut.
1. kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita
Takasu (menjadi guru);
2. sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu
(tidak setuju);
3. nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk
mengubah sikap);
4. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
5. tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu
(berusaha mempengaruhi);
6. sikap Takasu (tetap ingin jadi guru);
7. ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali;
8. sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak);
Kutipan di
atas jelas menunjukan bahwa tokoh ayah dan istri benar-benar berusaha untuk
mengubah Takasu. Kedua tokoh ini sama sekali sangat menentang Takasu. Sikap ini
berubah pada bagian tengah dan akhir peristiwa. Hal itu ditunjukan oleh kutipan
berikut ini.
....
37. sikap bapak ketika melihat dan membaca secarik kertas
(gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain);
38. sikap bapak atas kedatangan istrinya;
39. sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah pergi
(bertengkar keras);
40. peristiwa 10 tahun lalu;
41. orang tua Takasu sudah Tua;
42. keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti memikul
beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan);
43. anugrah bergensi (gelar doktor honoris causa untuk
Takasu).
Merujuk pada
uraian tokoh di atas, berikut ini disajikan tabel klasifikasi tokoh dalam
cerpen “Guru” karya Putu Wijaya.
Tabel
Klasifikasi Tokoh dalam Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya
No
|
Klasifikasi Tokoh
|
|||||||
Segi Peranan
|
Segi Perwatakan
|
Segi Berkembang atau tidak
|
Segi Pencerminan
|
|||||
Utama
|
Tambahan
|
Kompleks
|
Sederhana
|
Berkembang
|
Statis
|
Tipikal
|
Netral
|
|
1
|
Takasu
|
Ayah
|
Ayah
|
Taksu
|
Ayah
|
Taksu
|
Takasu
|
Ayah
|
2
|
Istri
|
Istri
|
Istri
|
Istri
|
Merujuk pada
tabel di atas dapat dijelaskan klasifikasi tokoh sebagai berikut.
1.
Segi peranan, Takasu merupakan tokoh utama, ayah dan istri
merupakan tokoh tambahan.
2.
Segi perwatakan, Takasu merupakan tokoh sederhana, ayah dan
istri merupakan tokoh kompleks.
3.
Segi berkembang atau tidaknya, Takasu merupakan tokoh statis,
ayah dan istri merupakan tokoh berkembang.
4.
Segi pencerminan, Takasu merupakan tokoh tipikal, ayah dan
istri merupakan tokoh netral.
1.
Latar
Latar dalam
penelitian ini dibedakan dalam 3 unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat
dibicarakan secara sendiri. Pada kenyataannya ketiga tersebut saling berkaitan
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Rumah kos
menjadi latar tempat dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya. Latar ini menjadi
tempat terjadinya peristiwa dari awal hingga akhir. Selain rumah kos, ada juga
tempat-tempat yang hanya disebutkan dalam situasi pertengkaran dan menasehati
Takasu, seperti, rumah di desa, jalan kumuh di desa, gang kumuh, rumah
bertingkat dan neraka.
Rumah kos
sebenarnya menjadi tempat pertama kali terjadinya peristiwa dalam cerpen “Guru”
karya Putu Wijaya. Hal ini diperoleh kutipan cerpen berikut ini.
“Bukan
hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi
mengunjungi Takasu di tempat kosnya”.
Penggalan
cerpen di atas juga didahului oleh penggalan peristiwa “Kami
tinggalkan Takasu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan.
Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah
didik, sehingga Takasu jadi cupet pikirannya”. Kutipan tersebut jelas
menunjukan bahwa rumah kos menjadi latar sentral cerpen “Guru” karya Putu
Wijaya.
Rumah kos menjadi latar sentral didukung oleh latar waktu dan latar sosial.
Latar waktu berupa era melinium ketiga, masa depan, satu bulan, satu tahun, dua
bulan kemudian, zaman sekarang, tiga bulan, bulan depan, 28 tahun lalu, 30
tahun lalu, satu jam dan sepuluh tahun lalu. Berikut ini adalah penggalan
peristiwa masing-masing latar waktu tersebut.
1.
“... era millennium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias
persaingan bebas...”.
2.
“....Masak kamu tidak tahu? Mana ada
guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar.
Guru itu tidak punya masa depan”.
3.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak
kasi waktu satu bulan!"
4.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya
ingin jadi guru."
5.
“Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan
kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya”....
6.
"Sudah waktunya membuat shock
therapy pada Takasu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan
perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita
terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman
sekarang, akal bulus”!
7.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan.
Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
8.
"Baik. Kalau memang begitu, uang
sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop...”
9.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau!
Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu”!
10.
Satu
jam saya memberi Takasu kuliah. Saya telanjangi semua
persepsinya tentang hidup
11.
“Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua...”
Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya juga didukung oleh latar sosial. Latar
sosial alam cerpen ini mengeksploitasi dua sisi kehidupan, yaitu (1) kehidupan
kota dan (2) kehidupan desa. Kehidupan kota diwakili oleh tokoh ayah dan istri,
sedangkan kehidupan desa diwakili oleh Takasu.
Latar sosial kehidupan kota ditandai oleh penggunaan kosa kata seperti: era
melinium, era globalisasi, rumah bertingkat, masa depan. Latar sosial kehidupan
kota ditandai oleh penggalan peristiwa sebagai berikut.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah
itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh
di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era
milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi,
alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi
guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal
meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap
kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan.
Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa
kamu jadi putus asa begitu?!"
“Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele
banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru
yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru
itu tidak punya masa depan”.
Latar sosial kehidupan desa ditandai oleh penggunaan kosa kata seperti:
jalan kumuh, rumah kontrakan, gang kumuh. Latar sosial kehidupan desa ditandai
oleh penggalan peristiwa sebagai berikut.
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu
seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan
pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit
nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata
kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi
dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat
ongkos jalan saja kurang”.
“Dengan panik saya kembali menjumpai
Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya
akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa
semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan
kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
1.
Alur
Uraian
mengenai alur dalam penelitian ini dipilah menjadi dua, yaitu alur dalam cerpen
“Guru” karya Putu Wijaya dan cerpen “Saksi Bisu Pengorbanan Guru” karya
Evangelina Tessia Pricilla.
Deskripsi alur
dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya diawali dengan deskripsi sekuen berikut
ini.
- Kekagetan kedua orang tua Takasu mendengar cita-cita Takasu (menjadi guru)
- Sikap orang tua Takasu mengenai cita-cita Takasu (tidak setuju)
- Nasehat orang tua Takasu (mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap)
- Sikap Takasu (tetap ingin jadi guru)
- Tanggapan orang tua Takasu mengenai sikap Takasu (berusaha mempengaruhi)
- Sikap Takasu (tetap ingin jadi guru)
- Ajakan orang tua Takasu untuk berpikir kembali
- Sikap Takasu (sudah dipikir masak-masak)
- Berusaha merayu Takasu (membawa makanan kesukaannya dan laptop)
- Sikap Takasu (senang)
- Pertanyaan orang tua mengenai hasil renungan Takasu
- Jawaban Takasu (tetap ingin jadi guru)
- Sikap orang tua Takasu (marah)
- Usaha mempengaruhi Takasu (menasehati dan meyakinkan Takasu)
- Sikap Takasu (diam)
- Pertanyaan orang tua Takasu (sambil menunjukan kunci mobil)
- Jawaban Takasu (menjadi guru)
- Sikap orang tua mengenai jawaban Takasu (marah, mengambil kembali kunci mobil)
- Sikap Takasu pada kemarahan orang tua (minta maaf, menguatkan kembali cita-citanya, ingin jadi guru)
- Ancaman ayah Takasu (uang sekolah dihentikan)
- Pertanyaan orang tua Takasu (tiga bulan kemudian)
- Jawaban Takasu (mau jadi guru)
- Kemarahan orang tua Takasu (mengancam akan membunuh Takasu)
- Sikap Takasu (menentang ayahnya, guru tidak bisa dibunuh)
- Sikap ayah (semakin marah)
- Sikap Takasu (berusaha meyakinkan ayahnya)
- Pertanyaan orang tua Takasu (menantang Takasu, mencari informasi yang mempengaruhi pikiran Takasu)
- Jawaban Takasu (menunjuk ayahnya)
- Kekagetan ayah Takasu (mencari alasan dan berkelit, kembali meyakinkan Takasu)
- Kemarahan istrinya pada sikap suaminya kepada Takasu
- Sikap suami (bingung)
- Perintah istri untuk kembali mencari Takasu
- Sikap bapak (tambah bingung)
- Desakan istri kepada suami
- Sikap ayah (kembali menemui Takasu)
- Kamar kosong (secarik kertas ditemukan bertulisan “Maaf, tolong relakan saya jadi guru”)
- Sikap bapak ketika melihat dan membaca secarik kertas (gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain)
- Sikap bapak atas kedatangan istrinya
- Sikap ibu ketika tahu bahwa Takasu telah pergi (bertengkar keras)
- Peristiwa 10 tahun lalu
- Orang tua Takasu sudah Tua
- Keadaan Takasu sekarang (menjadi pengganti memikul beban keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan)
- Anugrah bergensi (gelar doktor honoris causa untuk Takasu)
Merujuk pada
urutan sekuen di atas dapat ditentukan alur cerpen “Guru” karya Putu Wijaya.
Peristiwa diceritan dengar menggunakan alur mundur. Peristiwa dikisahkan dari
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa masa silam menuju pada kenteks
kehidupan masa kini. Secara rinci gambaran umum peristiwa dalam cerpen “Guru”
karya Putu Wijaya adalah sebagai berikut. Cerita diawali dengan kekagetan kedua
orang tua Takasu mendengar cita-cita Takasu yang ingin menjadi guru. Kekagetan
ini ini terjadi karena sang ayah tidak pernah menduga dan menginginkan anaknya
menjadi guru. Dalam pandangan kedua orang tua Takasu terutama ibu, guru adalah
profesi yang sangat tidak menjamin kehidupan masa depan. Selain itu, profesi
guru sangat tidak bergensi.
Pandangan
orang tua Takasu terutama ayah melahirkan peristiwa kedua, yaitu
ketidaksetujuan Takasu mengenai sikap orang tua yang sangat memandang remeh
guru. Bagi Takasu, guru adalah pekerjaan mulia. Meskipun tidak menjanjikan
kemewahan seperti pada pembisnis, tetapi guru memberikan kepuasan yang tidak
berujung.
Sikap Takasu
melahirkan peristiwa ketiga, yaitu tindakan orang tua Takasu terutama ayah
menasehati Takasu (mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap). Orang tua
bersikeras tetap tidak menginginkan Takasu menjadi guru.
Sikap keras
orang tua melahirkan peristiwa keempat, yaitu sikap Takasu (tetap ingin jadi
guru). Sikap keras orang tua semakin mengokohkan pendirian Takasu untuk tetap
menjadi guru.
Kekokohan
pendirian Takasu melahirkan peristiwa kelima, yaitu tanggapan orang tua
mengenai sikap Takasu. Orang tua berusaha mempengaruhi Takasu untuk mengubah
pendirian. Akan tetapi, semauanya tidak berhasil.
Usaha orang
tua mempengaruhi Takasu untuk mengubah sikap dan cita-cita melahirkan peristiwa
keenam, yaitu Takasu tetap ingin jadi guru. Tidak ada yang mampun mengubah
cita-cita dan kehendak Takasu. Menjadi guru merupakan cita-cita yang sudah
menjadi cita-cita mulia takasu.
Sikap Takasu
yang tidak mau mengubah poendirian melahirkan peristwai ketujuh, yaitu ajakan
orang tua Takasu untuk berpikir kembali. Orang tua Takasu mengajak Takasu untuk
berpikir secara jernih mengenai cita-citanya kini.
Ajakan orang
tua Takasu melahirkan peristiwa kedelapan, yaitu sikap Takasu yang tetap
bertahan pada sikapnya. Semua tindakan sudah dipikir masak-masak. Bagi Takasu
tidak ada yang perlu dipikirkan kembali. Sikap ini mendorong orang tua
meninggalkan Takasu. Orang tua Takasu membiarkan Takasu berpikir kembali dan
merenung mengenai cita-cita yang telah merasuki pikirannya.
Tiba waktu
yang diberikan kepada Takasu untuk berpikir dan merenung mengenai cita-cita
yang telah dipilihnya. Orang tuanya datang kembali. Kali ini, orang tua
berusaha merayu Takasu. Peristiwa ini masih merupakan akibat peristiwa
sebelumnya. Usaha orang tua merayu Takasu merupakan peristiwa kedelapan.
Tindakan orang
tua Takasu merayu Takasu dengan membawakan hadiah melahirkan peristiwa
kesembilan, yaitu sikap senang Takasu.
Melihat
suasana dan rasa senang Takasu karena dibawakan hadiah mendorong orang tua
Takasu untuk menanyakan kembali cita-cita dan hasil renungannya selama
ditinggalkan. Peristiwa ini merupakan peristiwa kesepuluh, yaitu pertanyaan
orang tua mengenai hasil renungan Takasu.
Pertanyaan
orang tua Takasu melahirkan peristiwa kesebelas, yaitu jawaban Takasu (tetap
ingin jadi guru). Jawaban ini melahirkan peristiwa kedua belas, yaitu sikap
marah orang tua takasu. Sikap ini berlanjut pada perisitwa ketiga belas, yaitu
usaha mempengaruhi Takasu (menasehati dan meyakinkan Takasu).
Usaha orang
tua mempengaruhi Takasu untuk mengubah pikiran melahirkan peristiwa keempat
belas, yaitu sikap Takasu (diam). Sikap Takasu yang diam semakin mendorong
orang tua melakukan upaya yang lebih keras untuk merayu Takasu, yaitu merayu
Takasu sambil menunjukan kunci mobil. Ini menjadi peristiwa kelima belas.
Pertanyaan
orang tua Takasu sambil menunjukan kunci mobil melahirkan peristiwa keenam
belas, yaitu Jawaban Takasu (menjadi guru). Hadiah yang ditunjukan ayahnya
tidak mengubah pendirian Takasu untuk tetap menjadi guru meskipun rayuan itu
dengan kunci mobil sekalipun.
Sikap takasu
yang tetap ingin menjadi guru melahirkan peristiwa ketujuh belas, yaitu sikap
orang tua mengenai jawaban Takasu (marah, mengambil kembali kunci mobil). Sikap
Takasi yang tidak mau mengubah pendirian membuat ayahnya semakin marah. Kunci
mobil ditarik kembali
Kemarahan
orang tua Takasu melahirkan peristiwa kedelapan belas, yaitu sikap Takasu pada
kemarahan orang tua (minta maaf, menguatkan kembali cita-citanya, ingin jadi
guru). Takasu tetap bersikukuh dan meminta orang tuanya untuk mendukung dia
dalam mencapai cita-citanya.
Sikap Takasu
melahirkan peristiwa kesembilan belas, yaitu ancaman ayah Takasu dengan
menghentikan uang sekolah. Dengan cara demikian, ayah Takasu berharap akan bisa
menekan Takasu untuk mengubah sikap dan cita-cita.
Peristiwa
kesembilan belas melahirkan peristiwa ke dua puluh, yaitu pertanyaan orang tua
Takasu tiga bulan kemudian. Pertanyaan ini untuk mengetahuai apakah sikap
Takasu berubah atau tidak setelah diberi waktu berpikir selama tiga bulan.
Peristiwa
kedua pulu melahirkan peristiwa kedua puluh satu, yaitu, jawaban Takasu tetap
mau jadi guru. Waktu yang diberikan kepada Takasu untuk merenung tidak mengubah
sikapnya, tidak mengubah cita-citanya. Takasu tetap ingin menjadi guru.
Peristiwa
kedua puluh satu melahirkan peristiwa kedua puluh dua, yaitu kemarahan orang
tua Takasu. Kemarahan orang tua Takasu semakin meningkat. Bahkan sampai mengancam
Takasu dengan membunuhnya bila ia tidak mengubah sikap dan cita-cita.
Peristiwa
kedua puluh dua melahirkan peristiwa kedua puluh tiga, yaitu sikap Takasu,
menentang ayahnya. Bagi Takasu, guru tidak bisa dibunuh. Meskipun guru bisa
mati, tetapi namanya akan tetap hidup kekal dan abadi.
Peristiwa
kedua puluh tiga melahirkan peristiwa kedua puluh emapt, yaitu ayah Takasu
semakin marah. Kemarahan ayah Takasu kali ini sudah dihubungkan dengan orang di
luar Takasu. Ayahnya tidak semata-mata lagi mengarahkan kemarahannya pada
Takasu, tetapi sudah menghubungkanya dengan orang lain yang mungkin
mempengaruhinya secara tidak langsung.
Peristiwa
kedua puluh emapt melahirkan peristiwa kedua puluh lima, yaitu Takasu berusaha
meyakinkan ayahnya. Ia berusaha meyakinkan bahwa guru tidak seburuk seperti
yang dipikirkan ayahnya.
Peristiwa
kedua puluh lima melahirkan peristiwa kedua puluh enam, yaitu pertanyaan orang
tua Takasu mengenai hal yang mempengaruhi pikiran Takasu. Orang tua Takasu
menuduh kekasihnya sebagai orang yang telah mempengaruhi pikirannya. Orang tua
Takasu mendesaknya untuk mengakui siapa orang yang telah mempengaruhi
pikirannya.
Peristiwa
kedua puluh enam melahirkan peristiwa kedua puluh tujuh, yaitu jawaban Takasu
mengenai siapa yang telah mempengaruhi pikirannya. Takasu menunjukan ayahnya.
Takasu dengan tegas menyatakan bahwa yang telah mempengaruhi pikirannya selama
ini adalah ayahnya sendiri.
Tindakan
takasu melahirkan peristiwa kedua puluh delapan, yaitu kekagetan ayah Takasu.
Ia tidak menduga bahwa anaknya masih ingat nasehatnyanya 28 tahun lalu ketika
Takasu masih malas bersekolah. Orang tua Takasu mencari alasan, berkelit untuk
meyakinkan Takasu.
Peristiwa
kedua puluh delapan melahirkan peristiwa kedua puluh sembilan, yaitu kemarahan
istrinya pada sikap suaminya. Kemarahan ini disebabkan oleh tindakan suaminya
yang hendak memberi hadiah kepada Takasu dengan berbagai persyaratan.
Peristiwa
kedua puluh sembilan melahirkan peristiwa ketiga puluh, yaitu sikap suami,
bingung. Kebingungan ini disebabkan oleh sikap istrinya yang tiba-tiba berubah.
Selama ini ia mendukung suaminya untuk mengubah sikap Takasu mengenai cita-cita
yang ada dalam pikiran Takasu.
Peristiwa
ketiga puluh melahirkan peristiwa ketiga puluh satu, yaitu perintah istri untuk
kembali mencari Takasu. Peristiwa ini dilakukan karena istrinya telah menduga
bahwa Takasu akan kabur.
Peristiwa
ketiga puluh satu melahirkan peristiwa ketiga puluh dua, yaitu sikap bapak
tambah bingung. Kebingungan ini disebabkan oleh sikap istrinya yang tiba-tiba
berubah derastis.
Peristiwa
ketiga puluh dua melahirkan peristiwa ketiga puluh tiga, yaitu desakan istri
kepada suami. Desakan ini dilakukan karena perasaan sayang ibu kepada anak.
Apalagi Takasu adalah anak satu-satu.
Peristiwa
ketiga puluh tiga melahirkan peristiwa ketiga puluh empat, yaitu ayah Takasu
kembali menemui Takasu. Tindakan ayah menemui Takasu tidak lagi berarti sebab
Takasu sudah meninggalkan kos. Ia pergi entah kemana. Hanya secarik kertas
ditemukan di dalam kamar kos bertulisan “Maaf, tolong relakan saya jadi guru”.
Demikian peristiwa ketiga puluh lima.
Peristiwa
ketiga puluh lima melahirkan peristiwa ketiga puluh enam, yaitu keadaan bapak
ketika melihat secarik kerta, gemetar, menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
Ia memaki diri sendiri, memaki kekasihnya yang telah mempengaruhi pikiran
Takasu.
Peristiwa
ketiga puluh enam melahirkan peristiwa ketiga puluh tujuh, yaitu sikap bapak
atas kedatangan istrinya. Takut, sebab tidak bisa memberi penjelasan mengenai
keberadaan Takasu.
Peristiwa
ketiga puluh tujuh melahirkan peristiwa ketiga puluh delapan, yaitu sikap ibu
ketika tahu bahwa Takasu telah pergi. Mereka bertengkar keras. Ibu Takasu sama
sekali tidak menginginkan kejadian ini menimpa Takasu.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi di atas adalah peristiwa yang telah terjadi 10 tahun lalu.
Peristiwa ketika Takasu masih merintis cita-cita yang sangat diimpikan. Ini
merupakan peristiwa kedua puluh sembilan.
Peristiwa
keempat puluh adalah peristiwa ketika orang tua Takasu sudah tua. Mereka sudah
tidak dapat berbuat apa-apa. Peristiwa keempat puluh satu merupakan keadaan
Takasu sekarang. Ia menjadi pengganti yang memikul beban keluarga, menjadi guru
bagi 10.000 karyawan.
Berdasarkan
rentetan peristiwa di atas dapat dibuat hubungan antarperistiwa berikut ini.
Tabel
Hubungan antarperistiwa dalam Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya
NO
|
PERISTIWA
|
HUBUNGAN ANTARPERISTIWA
|
|
LANGSUNG
|
TAK LANGSUNG
|
||
1
|
1 dan 2
|
√
|
|
2
|
2 dan 3
|
√
|
|
3
|
3 dan 4
|
√
|
|
4
|
4 dan 5
|
√
|
|
5
|
5 dan 6
|
√
|
|
5
|
6 dan 7
|
√
|
|
6
|
7 dan 8
|
√
|
|
7
|
8 dan 9
|
√
|
|
8
|
9 dan 10
|
√
|
|
9
|
10 dan 11
|
√
|
|
10
|
11 dan 12
|
√
|
|
11
|
12 dan 13
|
√
|
|
12
|
13 dan 14
|
√
|
|
13
|
14 dan 15
|
√
|
|
14
|
15 dan 16
|
√
|
|
15
|
16 dan 17
|
√
|
|
16
|
18 dan 19
|
√
|
|
17
|
19 dan 20
|
√
|
|
18
|
20 dan 21
|
√
|
|
19
|
21 dan 22
|
√
|
|
20
|
22 dan 23
|
√
|
|
21
|
23 dan 24
|
√
|
|
22
|
24 dan 25
|
√
|
|
23
|
25 dan 26
|
√
|
|
24
|
26 dan 27
|
√
|
|
25
|
27 dan 28
|
√
|
|
26
|
28 dan 29
|
√
|
|
27
|
29 dan 30
|
√
|
|
28
|
30 dan 31
|
√
|
|
29
|
31 dan 32
|
√
|
|
30
|
32 dan 33
|
√
|
|
31
|
33 dan 34
|
√
|
|
32
|
34 dan 35
|
√
|
|
33
|
35 dan 36
|
√
|
|
34
|
36 dan 37
|
√
|
|
35
|
37 dan 38
|
√
|
|
36
|
38 dan 39
|
√
|
|
37
|
39 dan 40
|
√
|
|
38
|
40 dan 41
|
√
|
|
39
|
41 dan 42
|
√
|
|
40
|
42 dan 43
|
√
|
|
Merujuk pada
tabel di atas dapat diketahui hubungan antarperistiwa dalam peristiwa pertama
sampai dengan peristiwa dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya. Peristiwa
pertama sampai dengan peristiwa kedua puluh delapan memiliki hubunga langsung.
Peristiwa kedua puluh sembilan dengan peristiwa ketiga puluh memiliki hubungan
tidak langsung. Peristiwa ketiga puluh satu sampai dengan peristiwa ketiga
puluh sembilan memiliki hubungan langsung. Peristiwa keempat puluh sampai peristiwa
keempat puluh satu memiliki hubungan tidak langsung. Peristiwa keempat puluh
satu sampai dengan peristiwa keempat puluh tiga memiliki hubungan langsung.
Merujuk pada
rentetan peristiwa dan hubungan antarperistiwa dapat ditentukan alur dalam
cerpen “Guru” karya Putu Wijaya. Alur yang digunakan dalam cerpen tersebut
adalah alur mundur. Peristiwa bermula dari peristiwa-peristiwa masa silam untuk
sampai pada keadaan sekarang (peristiwa 1-28). Alur mundur dalam cerpen “Guru”
karya Putu Wijaya ditandai oleh peristiwa kilas balik pada peristiwa 28, 29 dan
30. Peristiwa tersebut berupa kekagetan ayah ketiga Takasu menunjuk dirinya.
Bahwa orang yang telah menanamkan semangat guru pada Takasu adalah ayahnya
sendiri. Ayah kemudian berkelit dan meyakinkan Takasu bahwa hal itu dilakukan
karena Takasu pada saat itu sangat malas pergi ke sekolah bahkan dia sendiri
yang selalu menghina dan merendahkan gurunya.
Peristiwa masa
silam berikutnya adalah paristiwa ketiga puluh satu sampai dengan peristiwa
ketiga puluh sembilan. Peristiwa tersebut berupa suasana hati orang tua Takasu
ketika orang tua Takasu mencarinya di rumah kosnya, akan tetapi, mereka tidak
lagi menjumpai Takasu di rumah kos. Mereka hanya menemukan secarik kertas
bertulis “Maaf, tolong relakan saya jadi
guru”. Peristiwa ini menyebabkan pertengkaran hebat ayah dan ibu. Takasu
merupakan anak satu-satunya dengan penantian yang lama sebelum kehadirannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, kemewahan tidak berarti apa-apa bila
mereka kehilangan Takasu.
Peristiwa
kelas balik di atas dikokohkan oleh peristiwa ketiga puluh sembilan sampai
peristiwa keempat puluh, yaitu peristiwa di atas merupakan peristiwa 10 tahun
silam. Berbeda halnya dengan keadaan sekarang. Takasu kini telah menjadi
pengganti tulang punggung keluarga, menjadi guru bagi 10.000 karyawan pada
perusahaan yang dipimpinnya (peristiwa 41-43).
A.
Penutup
Merujuk
pada hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini. Tokoh dalam cerpen “Guru”
Karya Putu Wijaya terdiri atas tiga orang, yaitu (1) Takasu, (2) Ayah, (3)
Istri. Ketiga tokoh tersebut dibedakan berdasarkan kriteria: (1) berdasarkan
peranan atau tingkat pentingnya dalam sebuah cerita, (2) berdasarkan
perwatakaanya, (3) berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan,
dan (4) berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh.
Tokoh
berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya dalam cerita, Takasu sebagai tokoh
utama, ayah dan Istri sebagai tokoh tambahan. Berdasarkan perwatakaanya,
Takasu sebagai tokoh sederhana, ayah dan istri sebagai tokoh kompleks. Berdasarkan kriteria
berkembang atau tidaknya perwatakan, Takasu merupakan tokoh statis (tak
berkembang). Sedangkan tokoh ayah dan istri merupakan tokoh berkembang. Berdasarkan kemungkinan
pencerminan tokoh, Takasu merupakan tokoh tipikal (tak berkembang). Sedangkan tokoh ayah dan istri
merupakan tokoh berkembang.
Rumah kos
menjadi latar tempat dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya. Latar ini menjadi
tempat terjadinya peristiwa dari awal hingga akhir. Selain rumah kos, ada juga
tempat-tempat yang hanya disebutkan dalam situasi pertengkaran dan menasehati
Takasu, seperti, rumah di desa, jalan kumuh di desa, gang kumuh, rumah
bertingkat dan neraka. Latar tempat didukung oleh latar latar waktu dan latar
sosial.
Alur cerpen
“Guru” karya Putu Wijaya adalah alur mundur. Peristiwa dikisahkan dari kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa masa silam menuju pada konteks kehidupan masa kini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1991. Struktur Sastra Lisan Serawai. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Alwi, Hasan dkk. (ed.).
2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Asniah. 1999. “Analisis
Unsur-unsur Intrinsik Cerpen Bulan di
atas Lovina ”, skripsi Sarjana Pendidikan : FKIP Unhalu.
Balawa, Laode. 2001.
“Analisis Naskah Drama”, Bahan Perkuliahan pada FKIP Unhalu Kendari.
Esten, Mursal. 1987. Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung :
Angkasa
--------, 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung
: Angkasa.
Fitri, Siti. 2003. “Alur
Teks Drama Citra”, Skripsi Sarjana
Pendidikan: FKIP Unhalu.
Husna, Ema. dkk. 1988. Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung :
Angkasa.
Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya.
Ende-Flores: Nusa Indah.
Nasrawaty. 1998. “Kemampuan
Siswa SMUN I Kolaka Menganalisis Unsur Instrinsik Sajak Karya W.S. Rendra”,
Skripsi Sarjana Pendidikan: FKIP Unhalu.
Pradopo, Rahmat
Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sahabat, Ali. 1999. “Campur
Kode dalam Cerpen Sri Sumarah”, Skripsi Sarjana Pendidikan: FKIP Unhalu.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Angkasa.
Sudjiman, Panuti. 1995. Memahami Cerita Rekaan,. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini
K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur.
2000. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung
: Angkasa.
Teeuw,
A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
Yudiono KS. 1989. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung
: Angkasa.
Zaimar, Okke K.S. 1990. Menelusuri Makna “Ziarah” Karya Iwan
Simatupang Jakarta : PT Intermassa.
Zulfahnur Z F.dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.