Monday, December 5, 2016

BULAN MUDA YANG TERBENAM


BULAN MUDA YANG TERBENAM
KARYA LA ODE BALAWA

Adegan 1
Amangkali duduk bersila dengan khusuk. Di depannya duduk Inangkali dan putri tunggalnya yang cantik jelita bernama. Wa nurani (sehari-hari dipanggil Wani). Para juragan perahu dan para kemenakan yang hadir untuk mengantar keberangkatan Amangkali semua diam tafakur seakan menanti titah yang mulia.
juragan laut           : Tabe Ama ! (kepada Amangkali). Semua telah hadir. Sebagian disini, sebagian lainnya sudah dahulu kepantai.
Amangkali             : (dengan tenagng dan berwibawa) Baiklah, marilah semua sama-sama berdoa! (amangkali sendiri lalu meramalkan mantra-mantranya setelah beberapa kali menariknapas dalam-dalam). Aaa….lii…uuu..! (3x). Eee…pindongo isimiu alamu patowalae, langi picu tapi, maicungkuwiau mai torangapiau..Eee…Waopu, isimiumo Waopungaaso benteau ngaaso baluara sau. Isimiumo ngaaso manguluisa’u, ngaaso macimburiis’au. Cumotabuisa’u tabeano maim ia umela. Anenaumaneemia modhaki, mia mimpali iharoau, isimiumo waapungaaso mgnguluisa’u,ngaaso pasino bukuno tumompuno uano pisano bokeno! Bismillah barakati !1) (ketika amangkali berdiri dan melangkah kepintu, tiba-tiba kopiahnya terjatuh. Amangkali dan semua hadirin tersentak kaget dan dicekam kekhawatiran yang luar biasa, seraya serentak berucap “Sooomba Waopu! 2) alamat apakah ini?!”).
Amangkali             : (setelah terpana beberapa saat, dengan tangan gemetar memungut kopiahnya dan memakainya kembali dengan gerakan yang lesu, seakan ia tak sanggup menyembunyikan kegugupannya. Tanpa menoleh ia berucap seakan kepada diri sendiri). Sungguh membingungkan. Bencana apalagi yang akan menimpa keluarga ini. Badai panjang telah mengakibatkan pelayaran tertunda semusim lalu. Kini datang lagi “alamat”. “alamat” yang mencekam, mungkin buruk artinya.
Juragan darat        : Apa yang terlukis belum lagi nyata, Ama! Ibarat kematian, kita tidak dapat menentukannya. “Alamat” ini sudah ketentuan sang pencipta
Amangkali             : Menghadapi kematian aku tak gentar sedikitpun, Juragan! Kecuali kodrat yang mengiringi perjlananku ke arah lain.
Sora                             : Makna apapun yang terungkap, kuncinya hanya terletak pada akal budi dan kearifan Tuanku Amangkali!
Amangkali             : Aku sudah berusaha menghalau pikiran-pikiran remeh yang terhimpun dalam relung waktu, Sora…, namun sia-sia. Makna belum lagi terungkap di permukaan, Akal budi pun sudah hampir rapuh karenanya. Oleowie maka olanto onanguwie maka otondu!
Inangkali                : Mengapa semua diam?! Adakah jawaban merisaukan hati? Pamanda! Juragan! Dapatkah semua ini terjawab? (seakan berkata pada diri sendiri).
Sora                             : Maapusau  sora! 4) memutuskan memang tidaklah gampang. Alamt ini bukanlah alamat biasa. Untuk menafsirkannya, memerlukan kesabaran dan kedalaman pikiran yang arif bijaksana.
Amangkali             : Aku mamakluminya, sora! Itulah mengapa hingga saat ini selalu kuelus dadaku dengan penuh kesabaran sambil menanti saatnya.
Sora                             : Benar, Amangkali! Kami pun selalu setia menunggu!
Juragan Darat        : Maapusau Ama!5) Barangkali, sudah saatnya kita datangkan ahli nujum!?
Amangkali             : Aku menghargai budimu Juragan! Silakan!

Juragan Darat pergi keluar memanggil Nujum. Tidak berapa lama, ia kembali muncul bersama Nujum. Juragan Darat kembali pada posisi duduknya semula, sedangkan Nujum langsung duduk bersila di hadapan Amangkali.
Nujum                         : Apakah berita yang saya dengar ini benar!
Amangkali             : Betul Nujum! Sebagaimana telah engkau dengar, engkau lihat, serta engkau rasakan. Siapkanlah sesuai maknanya!
Nujum                         : Tabea sawuta kita! (lalu mencabut keris pusaka, musik sacral mengiringi Nujum dalam kondisi trens). Nabhita naipua esok atau lusa bintang timur akan kehilangan titik cahayanya. Ini suatu pertanda, perahu-perahu pelaut tidak sanggup menghadapi amukan badai dari jiwa, hingga penderitaan merantau diri. Sedang tumbalnya, hanya mah…ko…ta!
Inangkali                : Makna apa! Bencana apa! O, Betapa mencekamnya. Soomba Waopu!
Juragan laut           : Nujum! Putus kata adalah jiwa kebijakan. Lidah wujud pikiran. Ketetapan adalah wujud hati. Terangkanlah segala rahasia!
Nujum                         : Maapusau juragan? Alamat ini adalah kehendak takdir.
Amangkali             : Aku merasa ragu nujum!
Nujum                         : Disalah letak persoalannya, Ama! Akal budi sering tak berdaya menghalau datangnya badai dari lautan jiwa. Sementara, hal-hal yang kodrati tetap abadi dalam kerahasiaannya.
Amangkali             : Engkau benar Nujum! Kini baru aku mengerti nujuman itu. Aku menyadari sedalam-dalamnya. Yah…betapun pahitnya nanti.

LAMPU PADAM (PERALIHAN ADEGAN)
Adegan 2
Suasana di ruang keluarga masyarakat pelayar tradisional Ciacia di Kabupaten Buton. Amangkali muncul dari belakang panggung dengan langkah panjang. Wajahnya tampak murka dan tubuhnya bergetar menahan amarah sambil berteriak-teriak memanggil Inangkali dan Wani putri tunggalnya.
Amangkali            : Inangkali!!! Wani…Waniii!!!! (seraya mengehentakkan kakinya kelantai)
Inangkali Wani beserta Bibinya muncul dengan setengah berlari. Mereka terlihat sangat kaget dan kebingungan. Wani dan Bibinya serta merta menunduk ketakutan ketika melihat sorot mata Amangkali yang penuh kemurkaan. Inangkali yang bingung dan penasaran tak sabar lagi untuk bertanya.
Inangkali                : Amangkali, ada apakah sebb…?
Amangkali             : ada apaaa! (sambil menuding berkali-kali ke arah Inangkali dan Bibi pengasuh Wani). Kemana saja putri tunggalmu selama ini! Ke mana! Dan kau, kau kapeleu (kepada bibi pengasuh Wani), adat orang laut mana yang telah kau ajarkan pada kemanakanmu ini?! Jaaawab!!!.
Inangkali                : Ada apakah ini sebenarnya?
Amangkali             : Ada apaaa! (gemas dan jengkel). Tanya, tanyakan pada putrimu pembawa sial ini! Yang telah berani berhubungan dengan La Domai, pendatang dari Batuatas yang tak jelas asal usulnya itu!
Wani                            : Maafkan aku Amanda. Aku putrimu tidak sudi Amanda menghina kakanda  La Domai seperti itu!
Amangkali             : kakaaanda …?! Orang Batuatas, miano pasi10) itu kau sebut kakanda di depanku! Hah, tidak!!!
Wani                            : Tapi…!
Inangkali                : Diaamm Wani! Tidak pantas kau bicara sekasar itu kepada Amandamu!
Wani                            : (Sambil teriak menahantangis, datang bersimpuh dikaki Amandanya, Amangkali). Ampuni putrimu Amanda. Izinkanlah Nanda merajut tali suci dengan La Domai putra Batuatas itu Amanda!
Amangkali             : Diaaammm!!! (Sambil menghempaskan Wani yang memeluk kakinya demi memohon belas kasihan). Ingat Wani, jangan sekali-kali kau berani menodai nama baik keluarga ini. Karena tebusanya hanya darah dan maut. Ingat itu! (sambil beranjak ke luar dengan kesal dan tergesa-gesa).
Panggung lengang beberapa saat. Sayup-sayup terdengar musik kampung yang senimental. Isak Wani semakin menjadi-jadi karena tak kuasa menahan kepedihan hatinya y6ang tertahan-tahan sejak tadi. Wani meniarap di atas pangkuan bibinya yang datang membujuk agar Wani bersabar hati.
Bibi                          : (sambil mengusap kepala Wani). Menangislah putriku, karena hanya air matalah yang setia menemanimu sejak saat ini. Memang beginilah suratan nasib kaum perempuan di negeri Mata Sangia ini putriku (seakan berbicara pada diri sendiri). Dalam hal jodoh, kita hanya punya kewajiban untuk dipilih tetapi tidak punya hak untuk memilih.
Inangkali            : Memang benar demikian putriku. Kejadiannya bermula sejak puluhan tahun yang lalu, ketika kamu masih kecil. Ketika ayahmu pergi mencari papan perahu di Sampolawa, secara kebetulan dia berjumpa dengan Amantale sahabat lamanya. Sebelum berpisah, mereka telah mengikat janji untuk menjodohkanmu dengan Lantale putra tunggal Amantale. Jadi, penolakan ayahmu bukan semata-mata lantaran keluarga kita lebih tinggi martabatnya dari pada keluarga La Domai putra Batuatas, melainkan karena ayahmu telah terlanjur mengikat janji. Dan melanggarnya berarti pandara,11) aib bagi keluarga kita putriku.
Wani                        : Tapi, Inanda, bukankah Inanda sendiri yang sering mengatakan bahwa sebuah mahligai rumah tangga bisa kokoh di atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus di antara suami istri?!
Inangkali            : Memang demikian yang diharapkan dalam setiap perkawinan putriku, tetapi percayakah kau pada nasib? Perjodohanmu dengan Lantale sudah suratan dari yang Mahakuasa. Kita hanya wajib menjalaninya dengan ikhlas dan sabar. Pahamkah kau sekarang putriku?
Wani                        : Aku sangsi atas kenyataan bunda!
Inangkali            : Tidak! (kesal) jangan sekali-kali kau membantah kebenaran perkataanku ini, jika kau tidak ingin jadi telur busuk dalam keluarga ini!
Wani                        : Oh, betapa malang nasibku ini Bibi! (bersandar lesu di pangkuan bibinya). Alangkah tak berdaya diriku saat ini. Diriku bukan lagi milik jiwaku. Peluklah diriku erat-erat Bi, jangan sampai kegelapan malam mengantar perjalanan nasibku kearah lain.
Bibi                          : Tabahkanlah jiwa yang lelah anakku!
Wani                        : Ngkali, kapan kanda Ngkaliti tiba dari pelayaran Bi?
Inangkali            : Kuuurumaaai…, kodhadhi koomuru ana`u! 14) selamat panjang umur putraku!
Langkaliti           : (Bersujud diantara kedua lutut ibunya). Eee…Waopu! Pindongo isimiu kawasano Allah Ta`ala; 15) Dengarkanlah duahi seru sekalian alam! Ampunilah dosaku terhadap ibu yang kumuliakan ini, dosa sejak aku berada dalam kandungannya hingga aku lahir dan dibesarkan di bumi ciptaanmu ini. Ampunisau Ina! 16) (3X)
Inangkali            : (Sambil mengusap-usap ubun-ubun putranya). Eee…Waopu!17) Ampunilah putraku ini. Berilah ia umur yang panjang, jalan yang lurus, ketinggian akal budi, dan rejeki baik yang melimpah!
Inangkali            : (Mengangkat wajah putranya dan menatapnya dengan keharuan dan kegembiaraan yang dalam) Bagaimana kabar perjalananmu putraku?
Langkaliti           : Berkat doa restu Ibunda dan Amanda, Ananda selamat dari perjalanan. Tak kurang sesuatu apapun.
Inangkali            : Syukurlah kalau begitu putraku.
Langkaliti kembali menyalami Ibunya sekali lagi, kemudian ia berjalan hendak duduk disamping Ayahandanya. Melihat kakaknya yang berlalu begitu saja di depannya, Wani kembali murung dan sedih.
Wani                        : Kakak! Ngkali! (suaranya lirih)
Langkaliti           : (Berpaling ke arah adiknya, diwajahnya tampak ada penyesalan karna lupa menyalami adiknya). Oh Wani…! Adikku! (sambil bergegas mendekati adiknya).
Langkaliti           : (Sambil mengusap bahu dan rambut adiknya). Selamat Adikku! Apa kabarmu, baik-baik saja kan?! Tap…tapi kenapa wajahmu tampak murung? Tidak cerah seperti biasanya. Bibi, ada apa ini?! (Sambil berpaling ke arah Bibinya).
Inangkali            : Soal ikatan lama. Ikatan janji antara Ayahmu dengan Amantale
ketika pergi mengambil papan perahu di Sampolawa dahulu.
Langkaliti           : Tapi, Wani tidak menolak kan !
Inangkali            : Huh, justru lebih buruk daripada  sekedar  penolakan. Ia telah berani mencorengkan arang pada kehormatan keluarga ini.
Wani                   : Mafaafkanlah dinda kakak, apakah dicintai dan mencintai itu adalah kesalahan? Bukankah cinta itu roh kehidupan yang sangat pribadi dan rahasia pada diri setiap manusia.
Langkaliti           : (menghela napas dengan berat seakan ikut merasakan duka hati adiknya). Wani adikku, aku pun telah lama merasakan kebenaran di balik perkataanmu itu. Namun, sebagai manusia kita sering tak berdaya untuk melawan kodrat. Camkanlah itu, adikku!
Wani                   : tapi, bukankah kodarat kita sama. Bukankah derajat semua manusia itu sama di mata Tuhan-Nya?!
Amangkali         : Wani putriku,…(berusaha menenangkan diri dan menahan emosi yang hampir meledak). Ketahuilh, sebagai manusia kodratmu adalah perempuan. Perempuan yang dilahirkan sebagai keturunan Amangkali di mata Sangia ini. Bukan keturunan orang kebanyakan!
Wanni                 : tapi, ananda jauh dari pengertian itu, Amanda!
Amangkali         : Diam! Ingat Wani, aku Amangkali ayah kandungmu ini sudah dikenal di seluruh negeri Ciacia ini sebagai Ayam Jantan dari Sangia. Itu lantaran keteguhan dan keberanianku mempertaruhkan darah dan nyawa demi membela nama baik Sangia, keturunan kita! Dan sebagai pewarisku, kewajiban kalianlah untuk menjaganya! (kepada Langkaliti dan Wani). Meskipun….harus nyawa sebagai taruhannya! Ingat itu!! (lalu beranjak keluar dengan kesal).
Melihat Amangkali demikian kesal, Inangkali pun segera mengajak Langkaliti dan Sora untuk segera keluar menyusul Amangkali.
Inangkali            : Ngkaliti, Juragan, marilah kita tinggalkan pembicaraan dengan anak pembawa sial ini ! (sambil menuding Wani). Huh, tak tahu diri, tak tahu berterima kasih kepada orang tua!
Juragan laut segera melangkah keluar, lalu di susul oleh Inagkali dan Langkaliti. Melihat itu semua wani semakin  putus dan bertambah kedukaan hatinya. Dengan isak tangis yang semakin memalukan hati, wani kembali memanggil Langkaliti, seakan memohon pergantungan dan perlindungan pada kakaknya yang cukup memahami dirinya selama ini.
Wani                   : Ngkali, Ngka….Ngkaliti ! (mendengar panggilan adik yang amat dasayanginya ini, Langkaliti segera berbalik dan mendekati Wani yang terkulai lemas dalam pelukan Bibinya)
Langkaliti           :Wani ...Wani!(sambil mengguncang bahu adiknya yang semakin lemah, tak berdaya menahan sedih). kuatkanlah hatimu adikku! kita sama-sama tak berdaya adikku!
Wani                   :Ngkaliti, kakakku…(seraya berusaha menegarkan jiwanya yang hampir putus asa)sudikah kau memaafkan adikmu yang malang ini?betapa berat menjalani takdir sebagai perempuan di negeri ini kakak! Oh, waopu, semoga ajal segera mengiringi perjalananku ke alam sana….!
Langkaliti           :jangan ucapkan kata-kata itu adikku!oh, waopu betapa malangnya hidup di tengah-tengah adat yang latah seperti ini!(lalu memapah adiknya,wani,keluar bersama bibinya).
Musik sentimental mengiringi langkah Langkaliti dan bibinya yang tertatih- tatih memapah Wani keluar panggung. bertsamaan dengan semakin mengecilnya musik lampu dipadamkan satu persatu

Adegan 3
Di ruang keluarga nampak Amangkali sedang memperbincangkan hal yang serius dengan ingkali.tidak begitu lama muncul Langkaliti yang langsung dipersilahkan duduk di samping Amangkali.selanjutnya muncul para tamu undangan secara berturut-turut; mula-mula Sora (saudara Amangkali ), lalu menyusul juragan laut dan juragan darat serta tamu undangan lainnya. Amangkali dan Inangkali tampak gembira dalam menyambut tamu-tamunya. Beberapa tamu tampak saling membisik, rupanya mereka penasaran ingin  segera tahu  tujuan sebenarnya mereka diundang  berkumpul pada saat ini.
Amangkali: (Setelah meneliti semua tamu yang hadir). Mana Bibimu, Ngkaliti? Ajaklah segera ke mari, karena saatnya hampir tiba.
Langkaliti segera beranjak menuju kebelakang dan kemudian muncul kembali bersama Bibinya.
Amangkali             : Tabhete emo koja?19) sudah saatnyakah pembicaraan kita mulai?
Para tamu              : (hampir serentak). Umbe! 20) Apalagi yang harus ditunggu!
Amangkali             : Baiklah kalau begitu. Sora, (seraya menoleh kepada saudaranya) utarakanlah sesuai adat dan kebiasaan negeri kita ini!
Sora                             : Tabea, sawutangkita!21) Tabe, untuk kita semua! Menurut berita dari seberang, pada hari ini duta Amantale dari Sampolawa akan tiba untuk meminang putri kemenakan kita Wa Nurani. Untuk itulah kita sebagai koeleano 22) di undang berkumpul pada saat ini, guna merundingkan dan sekaligus memberi putusan atas tibanya pinangan itu nanti.
Juragan Darat: Itulah yang benar. Sesuai adat kita orang Ciacia, urusan peminangan dan perkawinan berada di tangan koeleano,23) yakni famili atau kaum keluarga terdekat pihak perempuan; sedangkan orang tuanya hanya berkewajiban untuk mendengar dan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh koeleano.24)
Bibi                              : Tapi apakah tidak sebaiknya kita mendengarkan pula pendapat Wani sendiri, sebab dia sendirilah yang akan menjalani segala putusan kita sebagai koeleano.)
Sora                             : Memang benar, Wani yang akan menjalaninya, karena itulah kewajibannya agar ia dapat berbakti untuk kehormatan leluhur dan kaum keluarganya. Ketahuilah saudaraku, mahkota kehormatan keluarga terlampau berat untuk di pikul sendiri-sendiri, sehingga koeleano-lah yang harus bahu memabahu memikulnya.
Tiba-tiba hadir seseorang yang memberitakan bahwa utusan Amantale dari Sampolawa telah tiba. Semua yang hadir lalu mengatur posisi duduknya untuk menyambut kehadiran tamunya.
Duta/Tolowea       : (ketika telah berada di ambang pintu). Tabe, kami hanyalah duta kepercayaan Amantale dari Sampolawa. Apakah layar perahu pantang kami surutkan?!
Amangkali             : Berpindah karang berpindah jualah, tak akan berpindah ketetapan terdahulu!
Sora                             : perkataan amngkali, itulah yang kita junjung di negeri ini. Ikatan janji bagi orang Ciacia ibarat ikatan badan dengan rohnya. Seseorang yang ingkar janji sungguh tidak pantas lagi disebut atau menyebut dirinya sebagai orang Ciacia. Demi janji jualah kami koeleano membuka pintu rumah Amangkali lebar-lebar. Mari tikar adat Amangkali telah lama terhampar untuk duta Amantale!(lalu menyalami para duta dan mempersilakannya duduk pada tempat yang telah disediakan. Sebelum duduk, para duta lebih dahulu menyalami Amangkali dan Inangkali serta Koeleano26)).
Duta/Tolowea       : Tabe sawutangkita, 27) Tabe untuk kita semua! Amantale menitip salam untuk Tuan Amangkali dan semua Kaeleano28) di negeri Sangia ini.
Setelah mengucapkan itu, pimpinan para duta segera mengambil Tobha (wadah peminangan) dan menyodorkannya kepada Sora dengan hati-hati.
Duta/Tolowea       : Tabe, Amantale mohon maaf dengan sepuluh jari tangan sepuluh jari kaki karena tidak dapat menyampaikan langsung hajat baiknya ini. (sambil menyerahkan Tobha28)kepada Sora). Kami hanyalah Duta, yang tidak tahu betapa tingginya langit dan dalamnya bumi Sangia ini. Oleh karena itu, Amantale juga bermohon agar Tuanku Amangkali beserta semua Koeleano29) sudi kiranya meluruskan apa yang sesungguhnya sudah lurus, membenarkan apa yang sesungguhnya sudah benar.
Sora                             : Kami sangat menghargai budi baik kalian dan kerendahan hati Tuan Amantale!

Sora lalu membuka wadah peminangan, lalu meneliti isinya satu persatu. Selanjutnya ia memperlihatkannya kepada Amangkali dan Inangkali sambil berbincang-bincang setengah berbisik, kemudian diperlihatkan pula kepada semua Koeleano. Setelah berbincang-bincang (dengan suara halus) baik antara Sora dengan Amangkali dan Inangkali maupun dengan semua Koeleano, si Sora kembali menegaskan kesepakatan diantara semua koeleano untuk kemudian ia mengambil isinya (pertanda pinangan diterima). Kemudian wadah pinangan, yang sudah dalam keadaan kosong, dibungkus dan diserahkan kembali kepada Duta.
Sora                             : (setelah para duta menerima dan menyimpan kembali wadah pingangan) keputusannya adalah pada musim barat, tujuh belas bulan dilangit.
Semua yang hadir diruangan bernapas lega tanda gembira dan telah menyelesaikan suatu perkara yang teramat berat, kecuali Bibi yang justru semakin murung dan sedih walaupun ia tetap ber4usaha tersenyum kepada yang lain.
Juragan darat        : Eh, kapindongo koeleano,30) dengarlah semua koeleano, kini kata sepakat telah dicapai dan janji telah diikat. Maka, mulai saat ini kewajiban kitalah untuk memelihara ayam kita masing-masing.
Koeleano: Itu sudah pasti, juragan!
Para Dutu segera berkemas dan saling angguk untuk pamit.  
Duta                            : Tabe, maafkanlah kami karena telah merusak suasana dan pembicaraan yang baik ini. Kami Duta Amantale terpaksa harus mohon diri karena tak sabar lagi ingin menyampaikan berita baik ini kepada Tuan Amantale di Sampolawa.
Amangkali             : Kalian sungguh Duta yang baik. Tolong sampaikan salam keluargaku kepada Tuan Amantale. Dan pelayananku yang kurang atas kalian para Duta kepercayaannya.
Duta                            : Tabea Amangkali, Inangkali, dan isimiu koeleano!31)(Seraya berdiri dan bersalaman, lalu berjalan keluar).

Adegan 4
Wanita berserta dua orang temannya berjalan berjalan santai dengan membawa bakul cuciannya masing-masing. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah selesai mencuci dan mandi di mata air Sangia di luar kampung.
Teman 1                 : Betapa malang nasibnya Wani ya! (kepada teman 2)
Teman 2                 : yang malang bukan hanya nasib Wani, melainkan nasib semua kaum perempuan Ciacia di negeri ini.
Teman 1                 : Benar juga ya, adat negeri ini memang tidak adil terhadap kita kaum perempuan.
Teman 2                 : Bukan hanya tidak adil, tetapi justru tidak masuk akal. Coba pikir, apakah masuk akal derajat manusia ditentukan oleh keturunan dan daerah asalya? Sementara Tuhan tegas mengatakan tegas bahwa derajat manusia ditentukan oleh tingkat ketekwaannya!
Teman 1                 : Benar juga ya, memang masih banyak orang Ciacia yang menyombongkan asal dan keturunannya diantara sesama orang Ciacia sendiri. Itu akan memutuskan hubungan namanya!
Teman 2                 : Bukan hanya memutuskan hubungan, melainkan itu sifat sombong yang sangat dibenci Tuhan.
Bteman 1               : Benar juga ya, asal dan keturunan itu kan untuk dipelihara nama baiknya, bukan untuk disombongkan!Eh, jadiii…!
Teman 2                 : Jadi apa?
Teman 1                 : Jadiii…, berarti, yang dipelihara oleh mereka yang mengaku keturunan hebat itu ternyata bukanlah kehormatan, tetapi ke so mbo ngan! Lucunya Di!
Teman 2                 : Memang! Mana mungkin kehormatan bisa diperoleh dengan cara merendahkan orang lain! Bukankah pepatah mengatakan “Hormatilah diramu dengan cara menghormati orang lain”.
Tiba-tiba terdengar suara seruling yang mengalun dengan irama yang merawankan hati setiap yang mendengar. Wani yang sejak tadi hanya diam saja mendadak jadi gugup karena luapan perasaan yang bercampur aduk antara gembira, was-was, dan sedih. Dan tubuh Wani seakan berubah jadi kaku ketika La Domai benar-benar muncul  di depan matinya.
Wani                            : Oooh, kak…kak kau…La Domai!
La Domai               : (hanya membalas dengan tatapan mata yang memancarkan kerinduan yang dalam, tetapi disudut bibirnya tersungging senyum kekecewaan dan putus asa)
Melihat Wani yang seakan tak sadar lagi dengan keadaan sekelilingnya, kedua teman Wani langsung berbisik dan beranjak pergi meninggalkan Wani yang tinggal berdua dengan La Domai pujaan hatinya. Setelah suasana lengang beberapa saat.
La Domai               : (sambil membelakangi Wani yang telah merunduk diam) Tujuh lembah dan tujuh bukit telah aku lewati untuk menemui pautan hati. Tetapi apalah dayaku kini, kalau bunga di taman harus dipetik orang!
Wani                            : Apakah karena berita dari Sampolawa itu?
La Domai               : Kalau itu memang benar, Dinda!?
Wani                            : Oh, Kanda! Alangkah sia-sianya hatiku merangkai kesetiaan selama ini!
La Domai               : Apakah arti kesetiaan Dinda, kalau tungkai hati akhirnya kan patah jua!
Wani                            : Kalau tungkai patah, janganlah kumbang pindah berpijak, Kanda!
La Domai               : Benarkah itu Dinda?!
Wani                            : (duduk bersimpuh) La Domai Putra Pulau Karang, berpalinglah ke mari, tataplah aku dalam-dalam dengan hati sanubarimu!

Mendengar panggilan Wani yang tegas dan sungguh-sungguh, La Domai bagai terhipnotis bergerak mendekati kekasihnya. Setelah berada cukup dekat, Wani lalu meraih tangan La Domai dan meletakkannya diatas ubun-ubunnya. Dan betapa terkesimanya La Domai ketika Wani kemudian mengikrarkan sumpah kesetiaan cinta kepada yang maha kuasa.
Wani                            ; Dengarkanlah Waopu! Aku Wa nurani putri Amangkali, hari ini mengikat sumpah di bawah tujuh lapis langit di atas tujuh lapis bumi, bahwa tidak akan ada yang sanggup memisahkan aku dengan La Domai baik dalam suka dan duka maupun dalam hidup dan mati!
La Domai               : Sungguh berat sumpahmu ini Dinda!
Wani                            : Kanda La Domai, keraguan adalah musuh kesetian!
La Domai               : Baiklah Dinda, nantikanlah kedatanganku pada 17 hari bulan di langit! (Lalu dengan menguatkan hati berjalan pergi meninggalkan Wani)
Wani                            : Kakandaku La Domai! (La Domai yang hampir menghilang dari pandangan Wani spontan berhenti dan berpaling kearah Wani)
La Domai               : Janganlah beri keraguan dalam perjalananku kali ini Dinda!
Wani                            : Itulah yang aku harapkan Kanda! Biarlah waktu dan maut yang jadi saksi : Siapakah di antara kita yang sanggup membuktikan kata-katanya kelak?!
La Domai               : Nantikanlah Dinda!
Wani                            : Penantianku adalah separuh dari nyawaku, Kanda!
Setelah mendengar pengakuan kekasihnya itu, La Domai segera melesat pergi. Sepeninggal La Domai, Wani pun segera berjalan pulang diirngi dengan alunan suara seruling La Doami. Lampu panggung dipadamkan untuk menanda peralihan ke adegan berikutnya.
Adegan 5
Amangkali muncul bersama rombongan besar dalam pakaian adat resmi. Berjalan di sisi kirinya Inangkali dan sisi kanannya Sora. Menyusul di belakang mereka adalah rombongan koeleano, juga tidak ketinggalan juragan laut juga juragan Darat. Setelah semua menempati posisi duduknya masing-masing, pertunjukkan pencat silat segera dimulai sebagai hiburan selama menanti kedatangan rombongan pengantin pria dari Sampolawa. Ketika sedang asik-asiknya Amangkali dan semua tamu yang hadir menikamatipetunjukkan, tiba=tiba munculk bibi dengan tubuh gemetar dan wajah pucat sambil meneriakkan “Balaa… Balaa” petanda adanya kejadian buruk yang luar biasa.
Bibi                         : Balaa…! Balaa…! Am… Amangkali…!
Amangkali            : Bibi, ada apa ini sebenarnya?
Bibi                         : Annn… anu, Wawwani…, Amangkali
Amangkali            : Ada apalagi dengan kemenakanmu itu, cepat katakan!
Bibi                         : Amm… Ammpun, Amangkali! Wani…Wani… Amangkali!
Amangkali            : Ya, Wani! Ada apa dengan dengan dia!? (kesal dan penasaran)
Bibi                         : Wani, Wani baku bawa lari dengan La Domai!
Amangkali         : Apaaa??? Wani lari dengan La Domai??? Tidaaak (tubuhnya bergetar, biji matinya melotot lantaran amarah!)
Bersamaan dengan teriakan Amangkali; Inangkali terkulai pingsan. Bibi dan Langkaliti segera memapah Inangkali masuk ke dalam. Tamu-tamu yang lain juga telah menguncukrkan diri satu persatu, kecuali Sora dan Juragan yang tetap bertahan mendampingi Amangkali
Amangkali             : Ngkaliti… ! Ngkaliti…!
Langkaliti               : (kembali masuk denga tergopoh-gopoh dan duduk di samping Sora, pamannya sendiri) Tabe, Amanda! (kepada Amangkali)
Amangkali             : Ngkaliti, putraku, mendekatlah kemari!
Langkaliti               : (mendekati Amangkali, duduk besila di depan Amangkali) Tabe, amanada!
Amangkali             Ngkaliti, putra Sangia, lihatlah kemari! (seraya dengan sangat hati-hati meloloskan keris pusaka dari sarungnya, lalu mencium dan mengacungkannya ke atas) kini keris pusaka mata Sangia telah keluar dari hulunya, pantang disarungkan sebelum nywa La Domai dan nyawa adikmu, Wani, darah dagingku sendiri, terpisah dari tubuhnya!
Langkaliti               : Ampuni aku Amanda! Ak… Aku tak sassanggup…! (tubuhnya gemetar, jiwanua rusuh oleh pertentangan antara kewajiban terhadap ayahnya dan kasih sayang terhadap adik tunggalnya)
Amangkali             : Tidak putraku! Ini bukan semata-mata keharusan dariku, tetapi… ini adalah ketetapan takdir bagi keluarga Amangkali, pewaris keris pusaka Mata Sangia!
Langkaliti               : Tabe, Amanda (dengan tangan gemetar menyambut keris pusaka yang diserahkan oleh ayahnya) tet… terpaksa, Ama…! (lalu bergegas pergi dengan membawa keris terhunus.)
Amangkali             : Saudaraku, dan kalian juragan kepercayaanku, tidakkah kalian merasakan kejanggalan dalam tindakannku ini?
Juragan Laut         : Maafkan saya Amangkali! Ibarat suatu pelayaran, datangnya badai kadang menghalau kejernihan hati dan mengguncang ketabahan akal budi kita. Lantaran pikiran tak sanggup menjangkau kekuatan kelombang dan kemauan arus samudra ketika badai.
Amangkali             : Apakah itu berarti telah ada kesalahan dalam tindakanku ini?
Juragan Laut         : Sekali lagi, maafkan saya Amangkali! Amangkali telah berlayar pada lautan yang benar untuk menuju ke daratan yang juga benar. Namun, tatkala badai terlampau kuat, salahkah bila layar kemuadian harus diturunkan agar perahu tidak tenggelam atau memilih berlabuh di daratan yang terdekat agar perahu tidak karam!?
Amangkali             : Tidak! Aku Amangkali tidak mungkin mau melangkahi adat leluhur Mata Sangi ini! Apapun alasannya!
Juragan Darat        : Maaf tuan Amangkali! Arah pembicaraan Juragan Laut bukanlah untuk melangkahi adat, melainkan hanyalah perlu adanya sikap pengecualian manakala resiko yang ditimbulkannya terlampau berat.
Juragan Laut         : Memang kesanalah arahnya. Namun, sayapun menyadari bahwa kebenaran kadang terlalu pahit untuk ditelan, apalagi kalau itu datangnya n\belakangan oleh generasi yang lebih muda.
Juragan Laut         : Sudahlah, saudaraku! (kepada Juragan Laut). Kita manusia ini memang kadang aneh. Tuhan saja, yang menciptakankita ini, sudah mau memberikan pengecualian atas pelaksanaan segala aturannya; sedangkan manusia justru begitu angkuh, tidak mau memberi pengecualian pada adat dan tradisi nenek moyangnya, bahkan itu bertentangan dengan hukum Tuhan sekalipun.
Amangkali             : Janganlah kalian menyindirku, karena pantang bagi Amangkali untuk menjilat ludah yang sudah dimuntahkannya!
Sora                             : (berusaha mengalihkan suasana yang mulai memanas) Tabe, Amangkali! Apakah tidak sebaiknya kita segera ke Mata Sangia untuk melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur!
Amangkali             : Itu usul yang baik Sora! Mungkin pemujaan bisa mengurangi timbulnyakorban yang lebih besar dari amuk keris pusaka Mata Sangia.
Di atas panggung tampak Wani dan La Domai berjalan beriringan. Mereka tampak kelelahan seperti baru melakukan perjalanan yang melelahkan. Wani kemudian duduk mengasoh di atas sebuah bukit kecil. La Domai lalu menyusul pula dduduk mengasoh di samping Wani.
La Domai           : Sungguh berat pengorbananmu buat anak dagang yang malang ini, Wani!
Wani                        : Adakah yang pantas disebut dalam cinta dan kesetiaan, Kanda?!
La Domai           : Andaikan saja nyawaku yang selembar ini bisa berharga untuk mengurangi penderitaanmu, maka sekarangpun aku rela menyerahkannya, Dinda!
Tiba-tiba terdengar suara langkaliti menggelegar, memanggil-manggil nama Wani dan La Domai.
Langkaliti               : Wanii…! Wani…! Domai…! Domaai…! La Domaaii…!!! (sambil menuding La Domai yang telah ada di depan matanya)
Wani                            : (berdiri menghadang di depan La Domai) urungkanlah niat yang buruk, Kanda! (kepada Langkaliti) hukumlah adikmu yang malang ini, Kanda (sambil manahan isak yang tek terbendung lagi dari jiwa) karena dindalah penyebab semua mala petaka ini!
La Domai               : Tidak! (sambil berusaha melindungi Wani) Akulah yang patut dihukum dalam hal ini, Ngkaliti! Basuhlah keris pusaka lambang ketinggian derajat keluargamu dengan seluruh tetes darah di tubuhku ini tetapi janganlah berani berani menyentuh Wani, karena darahku pastu akanmembeku!
Langkaliti               : Adikku, La Domai! Sebagai laki-laki marilah kenyataan hidup ini secara laki-laki! Bagiku siapapun yangkorban di antara kita sama saja! Nah, bersiaplah!
Wani                            : Ooh… Tidaaak…! (kembali menyerbu untuk melerai) Kanda, Ngkaliti…La Domai… urungkan niat yang dipaksakan ini! (tangisnya semakin menjadi-jadi)
Langkaliti               : Wani, Adikku janganlah menghalanginya! Besarkanlah jiwanya! Sebab kematian belum tentu berada di pihaknya. Dan kamu La Domai… (berpaling ke arah La Domai) tegaklah pada pendirianmu. Marilah kita jalani kenyataan ini secara baik-baik.
La Domai               : Tabe, Kakanda Langkaliti (seraya mencabut badik dari pinggangnya) izinkanlah saya membela selembar nyawa yang tak berharga ini!
Langkaliti dan La Domai lalu segera bergeser dengan bunga-bunga silat menuju arena yang lebih luas. Rintihan dan ratap tangis Wani tak berari apa-apa lagi bagi keduanya yang telah biulat tekat untuk bertarung.
Wani                            : Oooh…, Waopu betapa malang hidup kaum perempuan di tengah-tengan adat yang lata seperti ini! Betapa tak berdayanya diriku hidup di antara laki-laki yang egois seperti ini! Ambillah nyawaku, Waopu! Sungguh aku tak sanggup lagi menanggung semua ini! (denganisak tangis yang semakin memilukan)
Di tengah arena tampak Langkaliti La Domai tengah memainkan bunga jurus silatnya masing-masing dengan iringan gendang pencat silat yang semakin menderas. Berkali-kali mereka saling mendahului, saling menekan, saling mencuri kesempatan dan saling mengintai kelemahan lawan sebagai saran tikaman keris mereka masing-masing. Setelah perterung berlangsung cukup lama mereka tiba-tiba saling mengganjal dan keris mereka sama-sama tertahan pada posisi ke arah lambung masing-masing. Setelah beberapa kali mereka saling menekan secara bergantian, tiba-tiba di luar dugaan, La Domai menarik pergelangan tangan langkali ke arah lambungnya sendiri, sehingga tanpa bisa dihindari lagi keris pusaka Mata Sangia di tangan Langkaliti terhujam masuk merobek lambungnya. Dengan rasa menyesal Langkaliti langsung memangku tubuh La Domai yang terkulai lemah.
Langkalit                : Ooo… La Domai yang malang! Mengapa… mengapa bukan kerismu saja yang kau benamkan ke dadaku! (seraya mengguncang tubuh La Domai dan menatapi darah di telapak tangannya). Kita sama-sama tak berdaya adikku…!
Sementara itu, Wani sejak tadi terpaku kaku melihat kejadian itu. Tiba-tiba mengeluarkan sebelah keris kecil dari balik sarung. Ia lalu mengangkat tinggi-tinggi keris itu dengan posisi siap di hujamkan ke arah jantungnya sendiri.
Wani                            : Kakanda, L:a Domai kini giliran aku yang harus membuktikan kata-katanya! Nantikan dinda dalam perjalanan ke alam sana, Kanda! (lalu menghujamkan kerisnya ke dalam dadanya sendiri)
Langkaliti               : (kaget dan berusaha menghalangi perbuatan adiknya tetapi sudah terlambat) Wani…! Wawwani!!!
Wani                            : (sambil berusaha melawan rasa sakit dengan bersandar di dada kakaknya, Langkaliti) Ngkangkali… Sassampaikan Peppermohonan maafku pap…pada Ammanda… dad dan inannda! Yaa…! Sesselamat… tit… titttinggaaal!
Langkaliti               : Wawwani….! Wani….! (sambil mengguncang tubuh Wani berkali-kali). Kakkau telah binasakan takdirmu sendiri… adikku!
Langkaliti lalu meletakkan tubuh adiknya dengan wajah protes sambil menahankesedihan yang dalam, ia melangkah tertatih-tatih dan berusaha setegar mungkin berdiri tegak di antara mayat La Domai dan mayat adiknya, Wani sambil mengangkat kedua belah tangannya yang berlumuran darah, ia berkata kepada seluruh hadirin…

LAYAR TURUN

3 comments :