BULAN MUDA
YANG TERBENAM
KARYA LA
ODE BALAWA
Adegan 1
Amangkali
duduk bersila dengan khusuk. Di depannya duduk Inangkali dan putri tunggalnya
yang cantik jelita bernama. Wa nurani (sehari-hari dipanggil Wani). Para
juragan perahu dan para kemenakan yang hadir untuk mengantar keberangkatan
Amangkali semua diam tafakur seakan menanti titah yang mulia.
juragan laut : Tabe Ama !
(kepada Amangkali). Semua telah hadir. Sebagian disini, sebagian lainnya sudah
dahulu kepantai.
Amangkali : (dengan
tenagng dan berwibawa) Baiklah, marilah semua sama-sama berdoa! (amangkali
sendiri lalu meramalkan mantra-mantranya setelah beberapa kali menariknapas
dalam-dalam). Aaa….lii…uuu..! (3x).
Eee…pindongo isimiu alamu patowalae, langi picu tapi, maicungkuwiau mai torangapiau..Eee…Waopu,
isimiumo Waopungaaso benteau ngaaso baluara sau. Isimiumo ngaaso manguluisa’u,
ngaaso macimburiis’au. Cumotabuisa’u tabeano maim ia umela. Anenaumaneemia
modhaki, mia mimpali iharoau, isimiumo waapungaaso mgnguluisa’u,ngaaso pasino
bukuno tumompuno uano pisano bokeno! Bismillah barakati !1) (ketika amangkali
berdiri dan melangkah kepintu, tiba-tiba kopiahnya terjatuh. Amangkali dan
semua hadirin tersentak kaget dan dicekam kekhawatiran yang luar biasa, seraya
serentak berucap “Sooomba Waopu! 2) alamat apakah ini?!”).
Amangkali : (setelah
terpana beberapa saat, dengan tangan gemetar memungut kopiahnya dan memakainya
kembali dengan gerakan yang lesu, seakan ia tak sanggup menyembunyikan
kegugupannya. Tanpa menoleh ia berucap seakan kepada diri sendiri). Sungguh
membingungkan. Bencana apalagi yang akan menimpa keluarga ini. Badai panjang
telah mengakibatkan pelayaran tertunda semusim lalu. Kini datang lagi “alamat”.
“alamat” yang mencekam, mungkin buruk artinya.
Juragan darat : Apa yang terlukis
belum lagi nyata, Ama! Ibarat kematian, kita tidak dapat menentukannya. “Alamat” ini sudah
ketentuan sang pencipta
Amangkali : Menghadapi
kematian aku tak gentar sedikitpun, Juragan! Kecuali kodrat yang mengiringi
perjlananku ke arah lain.
Sora :
Makna apapun yang terungkap, kuncinya hanya terletak pada akal budi dan
kearifan Tuanku Amangkali!
Amangkali : Aku sudah
berusaha menghalau pikiran-pikiran remeh yang terhimpun dalam relung waktu,
Sora…, namun sia-sia. Makna belum lagi terungkap di permukaan, Akal budi pun sudah hampir rapuh
karenanya. Oleowie maka olanto onanguwie
maka otondu!
Inangkali : Mengapa
semua diam?! Adakah jawaban merisaukan hati? Pamanda! Juragan! Dapatkah semua
ini terjawab? (seakan berkata pada diri sendiri).
Sora : Maapusau sora! 4) memutuskan memang tidaklah
gampang. Alamt
ini bukanlah alamat biasa. Untuk menafsirkannya, memerlukan kesabaran dan
kedalaman pikiran yang arif bijaksana.
Amangkali : Aku
mamakluminya, sora! Itulah mengapa hingga saat ini selalu kuelus dadaku dengan
penuh kesabaran sambil menanti saatnya.
Sora :
Benar, Amangkali! Kami pun selalu setia menunggu!
Juragan Darat : Maapusau Ama!5)
Barangkali, sudah saatnya kita datangkan ahli nujum!?
Amangkali : Aku menghargai
budimu Juragan! Silakan!
Juragan
Darat pergi keluar memanggil Nujum. Tidak berapa lama, ia kembali muncul
bersama Nujum. Juragan Darat kembali pada posisi duduknya semula, sedangkan
Nujum langsung duduk bersila di hadapan Amangkali.
Nujum : Apakah
berita yang saya dengar ini benar!
Amangkali : Betul Nujum!
Sebagaimana telah engkau dengar, engkau lihat, serta engkau rasakan. Siapkanlah
sesuai maknanya!
Nujum : Tabea sawuta kita! (lalu mencabut keris
pusaka, musik sacral mengiringi Nujum dalam kondisi trens). Nabhita naipua esok atau lusa bintang timur
akan kehilangan titik cahayanya. Ini suatu pertanda, perahu-perahu pelaut tidak
sanggup menghadapi amukan badai dari jiwa, hingga penderitaan merantau diri.
Sedang tumbalnya, hanya mah…ko…ta!
Inangkali : Makna apa! Bencana apa! O, Betapa
mencekamnya. Soomba Waopu!
Juragan laut : Nujum! Putus kata adalah jiwa
kebijakan. Lidah wujud pikiran. Ketetapan adalah wujud hati. Terangkanlah
segala rahasia!
Nujum :
Maapusau juragan? Alamat ini adalah
kehendak takdir.
Amangkali : Aku merasa ragu nujum!
Nujum : Disalah letak persoalannya, Ama! Akal
budi sering tak berdaya menghalau datangnya badai dari lautan jiwa. Sementara,
hal-hal yang kodrati tetap abadi dalam kerahasiaannya.
Amangkali : Engkau benar Nujum! Kini baru aku mengerti nujuman
itu. Aku menyadari sedalam-dalamnya. Yah…betapun pahitnya nanti.
LAMPU PADAM (PERALIHAN ADEGAN)
Adegan 2
Suasana di ruang keluarga masyarakat
pelayar tradisional Ciacia di Kabupaten Buton. Amangkali muncul dari belakang panggung dengan langkah panjang.
Wajahnya tampak murka dan tubuhnya bergetar menahan amarah sambil
berteriak-teriak memanggil Inangkali
dan Wani putri tunggalnya.
Amangkali :
Inangkali!!! Wani…Waniii!!!! (seraya mengehentakkan kakinya kelantai)
Inangkali Wani beserta Bibinya muncul dengan setengah berlari. Mereka terlihat sangat
kaget dan kebingungan. Wani dan Bibinya serta merta menunduk ketakutan
ketika melihat sorot mata Amangkali
yang penuh kemurkaan. Inangkali yang
bingung dan penasaran tak sabar lagi untuk bertanya.
Inangkali : Amangkali,
ada apakah sebb…?
Amangkali : ada apaaa!
(sambil menuding berkali-kali ke arah Inangkali dan Bibi pengasuh Wani). Kemana
saja putri tunggalmu selama ini! Ke mana! Dan kau, kau kapeleu (kepada bibi pengasuh Wani), adat orang laut mana yang
telah kau ajarkan pada kemanakanmu ini?! Jaaawab!!!.
Inangkali : Ada apakah
ini sebenarnya?
Amangkali : Ada apaaa!
(gemas dan jengkel). Tanya, tanyakan pada putrimu pembawa sial ini! Yang telah
berani berhubungan dengan La Domai, pendatang dari Batuatas yang tak jelas asal
usulnya itu!
Wani : Maafkan aku Amanda. Aku putrimu tidak sudi
Amanda menghina kakanda La Domai seperti
itu!
Amangkali : kakaaanda …?!
Orang Batuatas, miano pasi10) itu kau sebut kakanda di
depanku! Hah, tidak!!!
Wani :
Tapi…!
Inangkali : Diaamm
Wani! Tidak
pantas kau bicara sekasar itu kepada Amandamu!
Wani :
(Sambil teriak menahantangis, datang bersimpuh dikaki Amandanya, Amangkali).
Ampuni putrimu Amanda. Izinkanlah Nanda merajut tali suci dengan La Domai putra
Batuatas itu Amanda!
Amangkali : Diaaammm!!!
(Sambil menghempaskan Wani yang memeluk kakinya demi memohon belas kasihan).
Ingat Wani, jangan sekali-kali kau berani menodai nama baik keluarga ini.
Karena tebusanya hanya darah dan maut. Ingat itu! (sambil beranjak ke luar
dengan kesal dan tergesa-gesa).
Panggung lengang
beberapa saat. Sayup-sayup terdengar musik kampung yang senimental. Isak Wani semakin menjadi-jadi karena tak kuasa menahan kepedihan hatinya y6ang
tertahan-tahan sejak tadi. Wani meniarap di atas pangkuan bibinya yang datang
membujuk agar Wani bersabar hati.
Bibi :
(sambil mengusap kepala Wani). Menangislah putriku, karena hanya air matalah
yang setia menemanimu sejak saat ini. Memang beginilah suratan nasib kaum perempuan di negeri Mata
Sangia ini putriku (seakan berbicara pada diri sendiri). Dalam hal jodoh, kita
hanya punya kewajiban untuk dipilih tetapi tidak punya hak untuk memilih.
Inangkali : Memang benar
demikian putriku. Kejadiannya bermula sejak puluhan tahun yang lalu, ketika
kamu masih kecil. Ketika ayahmu pergi mencari papan perahu di Sampolawa, secara
kebetulan dia berjumpa dengan Amantale sahabat lamanya. Sebelum berpisah,
mereka telah mengikat janji untuk menjodohkanmu dengan Lantale putra tunggal
Amantale. Jadi, penolakan ayahmu bukan semata-mata lantaran keluarga kita lebih
tinggi martabatnya dari pada keluarga La Domai putra Batuatas, melainkan karena
ayahmu telah terlanjur mengikat janji. Dan melanggarnya berarti pandara,11) aib bagi keluarga kita
putriku.
Wani : Tapi,
Inanda, bukankah Inanda sendiri yang sering mengatakan bahwa sebuah mahligai
rumah tangga bisa kokoh di atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus di
antara suami istri?!
Inangkali : Memang demikian yang diharapkan dalam setiap
perkawinan putriku, tetapi percayakah kau pada nasib? Perjodohanmu dengan
Lantale sudah suratan dari yang Mahakuasa. Kita hanya wajib menjalaninya dengan
ikhlas dan sabar. Pahamkah kau sekarang putriku?
Wani :
Aku sangsi atas kenyataan bunda!
Inangkali : Tidak! (kesal) jangan sekali-kali kau membantah
kebenaran perkataanku ini, jika kau tidak ingin jadi telur busuk dalam keluarga
ini!
Wani :
Oh, betapa malang nasibku ini Bibi! (bersandar lesu di pangkuan bibinya).
Alangkah tak berdaya diriku saat ini. Diriku bukan lagi milik jiwaku. Peluklah
diriku erat-erat Bi, jangan sampai kegelapan malam mengantar perjalanan nasibku
kearah lain.
Bibi :
Tabahkanlah jiwa yang lelah anakku!
Wani :
Ngkali, kapan kanda Ngkaliti tiba dari pelayaran Bi?
Inangkali : Kuuurumaaai…,
kodhadhi koomuru ana`u! 14) selamat panjang umur putraku!
Langkaliti : (Bersujud diantara kedua lutut
ibunya). Eee…Waopu! Pindongo isimiu
kawasano Allah Ta`ala; 15) Dengarkanlah duahi seru sekalian alam! Ampunilah
dosaku terhadap ibu yang kumuliakan ini, dosa sejak aku berada dalam
kandungannya hingga aku lahir dan dibesarkan di bumi ciptaanmu ini. Ampunisau Ina! 16) (3X)
Inangkali : (Sambil mengusap-usap ubun-ubun putranya). Eee…Waopu!17) Ampunilah putraku ini.
Berilah ia umur yang panjang, jalan yang lurus, ketinggian akal budi, dan
rejeki baik yang melimpah!
Inangkali : (Mengangkat wajah putranya dan menatapnya dengan
keharuan dan kegembiaraan yang dalam) Bagaimana kabar perjalananmu putraku?
Langkaliti : Berkat doa restu Ibunda dan Amanda, Ananda selamat
dari perjalanan. Tak kurang sesuatu apapun.
Inangkali : Syukurlah kalau begitu putraku.
Langkaliti kembali menyalami Ibunya sekali lagi, kemudian
ia berjalan hendak duduk disamping Ayahandanya. Melihat kakaknya yang berlalu
begitu saja di depannya, Wani kembali
murung dan sedih.
Wani :
Kakak! Ngkali! (suaranya lirih)
Langkaliti : (Berpaling ke arah adiknya, diwajahnya tampak ada
penyesalan karna lupa menyalami adiknya). Oh Wani…! Adikku! (sambil bergegas mendekati adiknya).
Langkaliti : (Sambil mengusap bahu dan rambut adiknya). Selamat
Adikku! Apa kabarmu, baik-baik saja kan?! Tap…tapi kenapa wajahmu tampak
murung? Tidak
cerah seperti biasanya. Bibi, ada apa ini?! (Sambil berpaling ke arah Bibinya).
Inangkali : Soal ikatan
lama. Ikatan janji antara Ayahmu dengan Amantale
ketika pergi mengambil papan perahu di Sampolawa dahulu.
Langkaliti :
Tapi, Wani tidak menolak kan !
Inangkali :
Huh, justru lebih buruk daripada
sekedar penolakan. Ia telah
berani mencorengkan arang pada kehormatan keluarga ini.
Wani :
Mafaafkanlah dinda kakak, apakah dicintai dan mencintai itu adalah kesalahan? Bukankah cinta itu roh
kehidupan yang sangat pribadi dan rahasia pada diri setiap manusia.
Langkaliti : (menghela napas dengan berat seakan
ikut merasakan duka hati adiknya). Wani adikku, aku pun telah lama merasakan kebenaran di
balik perkataanmu itu. Namun, sebagai manusia kita sering tak berdaya untuk
melawan kodrat. Camkanlah itu, adikku!
Wani :
tapi, bukankah kodarat kita sama. Bukankah derajat semua manusia itu sama di
mata Tuhan-Nya?!
Amangkali : Wani
putriku,…(berusaha menenangkan diri dan menahan emosi yang hampir meledak). Ketahuilh, sebagai manusia
kodratmu adalah perempuan. Perempuan yang dilahirkan sebagai keturunan
Amangkali di mata Sangia ini. Bukan keturunan orang kebanyakan!
Wanni : tapi, ananda
jauh dari pengertian itu, Amanda!
Amangkali : Diam! Ingat Wani,
aku Amangkali ayah kandungmu ini sudah dikenal di seluruh negeri Ciacia ini
sebagai Ayam Jantan dari Sangia. Itu
lantaran keteguhan dan keberanianku mempertaruhkan darah dan nyawa demi membela
nama baik Sangia, keturunan kita! Dan sebagai pewarisku, kewajiban kalianlah
untuk menjaganya! (kepada Langkaliti dan Wani). Meskipun….harus nyawa sebagai
taruhannya! Ingat itu!! (lalu beranjak keluar dengan kesal).
Melihat Amangkali
demikian kesal, Inangkali pun segera mengajak Langkaliti dan Sora untuk segera
keluar menyusul Amangkali.
Inangkali : Ngkaliti,
Juragan, marilah kita tinggalkan pembicaraan dengan anak pembawa sial ini !
(sambil menuding Wani). Huh, tak tahu diri, tak tahu berterima kasih kepada
orang tua!
Juragan laut segera
melangkah keluar, lalu di susul oleh Inagkali dan Langkaliti. Melihat itu semua
wani semakin putus dan bertambah
kedukaan hatinya. Dengan isak tangis yang
semakin memalukan hati, wani kembali memanggil Langkaliti, seakan memohon
pergantungan dan perlindungan pada kakaknya yang cukup memahami dirinya selama
ini.
Wani : Ngkali,
Ngka….Ngkaliti ! (mendengar panggilan adik yang amat dasayanginya ini,
Langkaliti segera berbalik dan mendekati Wani yang terkulai lemas dalam pelukan
Bibinya)
Langkaliti :Wani
...Wani!(sambil mengguncang bahu adiknya yang semakin lemah, tak berdaya
menahan sedih). kuatkanlah hatimu adikku! kita sama-sama tak berdaya adikku!
Wani :Ngkaliti,
kakakku…(seraya berusaha menegarkan jiwanya yang hampir putus asa)sudikah kau
memaafkan adikmu yang malang ini?betapa berat menjalani takdir sebagai
perempuan di negeri ini kakak! Oh, waopu,
semoga ajal segera mengiringi perjalananku ke alam sana….!
Langkaliti :jangan ucapkan
kata-kata itu adikku!oh, waopu betapa
malangnya hidup di tengah-tengah adat yang latah seperti ini!(lalu memapah
adiknya,wani,keluar bersama bibinya).
Musik sentimental mengiringi langkah Langkaliti dan
bibinya yang tertatih- tatih memapah Wani keluar panggung. bertsamaan dengan
semakin mengecilnya musik lampu dipadamkan satu persatu
Adegan 3
Di ruang keluarga nampak Amangkali sedang
memperbincangkan hal yang serius dengan ingkali.tidak begitu lama muncul
Langkaliti yang langsung dipersilahkan duduk di samping Amangkali.selanjutnya
muncul para tamu undangan secara berturut-turut; mula-mula Sora (saudara
Amangkali ), lalu
menyusul juragan laut dan juragan darat serta tamu undangan lainnya. Amangkali dan Inangkali
tampak gembira dalam menyambut tamu-tamunya. Beberapa tamu tampak saling
membisik, rupanya mereka penasaran ingin
segera tahu tujuan sebenarnya
mereka diundang berkumpul pada saat ini.
Amangkali: (Setelah meneliti semua tamu yang
hadir). Mana
Bibimu, Ngkaliti? Ajaklah segera ke mari, karena saatnya hampir tiba.
Langkaliti segera
beranjak menuju kebelakang dan kemudian muncul kembali bersama Bibinya.
Amangkali : Tabhete emo koja?19) sudah saatnyakah
pembicaraan kita mulai?
Para tamu : (hampir
serentak). Umbe! 20) Apalagi yang
harus ditunggu!
Amangkali : Baiklah kalau
begitu. Sora, (seraya menoleh kepada saudaranya) utarakanlah sesuai adat dan
kebiasaan negeri kita ini!
Sora : Tabea, sawutangkita!21) Tabe, untuk kita
semua! Menurut berita dari seberang, pada hari ini duta Amantale dari Sampolawa
akan tiba untuk meminang putri kemenakan kita Wa Nurani. Untuk itulah kita sebagai koeleano 22) di undang berkumpul pada saat ini, guna merundingkan
dan sekaligus memberi putusan atas tibanya pinangan itu nanti.
Juragan Darat: Itulah yang benar. Sesuai adat kita orang Ciacia, urusan
peminangan dan perkawinan berada di tangan koeleano,23)
yakni famili atau kaum keluarga terdekat pihak perempuan; sedangkan orang
tuanya hanya berkewajiban untuk mendengar dan melaksanakan apa yang telah
diputuskan oleh koeleano.24)
Bibi :
Tapi apakah tidak sebaiknya kita mendengarkan pula pendapat Wani sendiri, sebab
dia sendirilah yang akan menjalani segala putusan kita sebagai koeleano.)
Sora :
Memang benar, Wani yang akan menjalaninya, karena itulah kewajibannya agar ia
dapat berbakti untuk kehormatan leluhur dan kaum keluarganya. Ketahuilah
saudaraku, mahkota kehormatan keluarga terlampau berat untuk di pikul
sendiri-sendiri, sehingga koeleano-lah
yang harus bahu memabahu memikulnya.
Tiba-tiba
hadir seseorang yang memberitakan bahwa utusan Amantale dari Sampolawa telah tiba. Semua yang hadir lalu mengatur
posisi duduknya untuk menyambut kehadiran tamunya.
Duta/Tolowea : (ketika telah berada di ambang pintu). Tabe, kami
hanyalah duta kepercayaan Amantale dari Sampolawa. Apakah layar perahu pantang
kami surutkan?!
Amangkali : Berpindah
karang berpindah jualah, tak akan berpindah ketetapan terdahulu!
Sora :
perkataan amngkali, itulah yang kita junjung di negeri ini. Ikatan janji bagi
orang Ciacia ibarat ikatan badan dengan rohnya. Seseorang yang ingkar janji
sungguh tidak pantas lagi disebut atau menyebut dirinya sebagai orang Ciacia.
Demi janji jualah kami koeleano membuka pintu rumah Amangkali lebar-lebar. Mari tikar adat Amangkali telah lama
terhampar untuk duta Amantale!(lalu menyalami para duta dan mempersilakannya duduk pada tempat yang telah
disediakan. Sebelum duduk, para duta
lebih dahulu menyalami Amangkali dan Inangkali serta Koeleano26)).
Duta/Tolowea : Tabe sawutangkita, 27) Tabe untuk kita
semua! Amantale menitip salam untuk Tuan Amangkali dan semua Kaeleano28) di negeri Sangia ini.
Setelah
mengucapkan itu, pimpinan para duta segera mengambil Tobha (wadah peminangan)
dan menyodorkannya kepada Sora dengan
hati-hati.
Duta/Tolowea : Tabe, Amantale
mohon maaf dengan sepuluh jari tangan sepuluh jari kaki karena tidak dapat
menyampaikan langsung hajat baiknya ini. (sambil menyerahkan Tobha28)kepada Sora). Kami hanyalah Duta, yang tidak tahu betapa tingginya langit
dan dalamnya bumi Sangia ini. Oleh karena itu, Amantale juga bermohon agar
Tuanku Amangkali beserta semua Koeleano29)
sudi kiranya meluruskan apa yang sesungguhnya sudah lurus, membenarkan apa
yang sesungguhnya sudah benar.
Sora :
Kami sangat menghargai budi baik kalian dan kerendahan hati Tuan Amantale!
Sora lalu
membuka wadah peminangan, lalu meneliti isinya satu persatu. Selanjutnya ia
memperlihatkannya kepada Amangkali dan
Inangkali sambil berbincang-bincang
setengah berbisik, kemudian diperlihatkan pula kepada semua Koeleano. Setelah berbincang-bincang
(dengan suara halus) baik antara Sora
dengan Amangkali dan Inangkali maupun dengan semua Koeleano, si Sora kembali menegaskan kesepakatan diantara semua koeleano untuk kemudian ia mengambil
isinya (pertanda pinangan diterima). Kemudian wadah pinangan, yang sudah dalam
keadaan kosong, dibungkus dan diserahkan kembali kepada Duta.
Sora :
(setelah para duta menerima dan menyimpan kembali wadah pingangan) keputusannya
adalah pada musim barat, tujuh belas bulan dilangit.
Semua yang
hadir diruangan bernapas lega tanda gembira dan telah menyelesaikan suatu
perkara yang teramat berat, kecuali Bibi
yang justru semakin murung dan sedih walaupun ia tetap ber4usaha tersenyum
kepada yang lain.
Juragan darat : Eh, kapindongo
koeleano,30) dengarlah semua koeleano,
kini kata sepakat telah dicapai dan janji telah diikat. Maka, mulai saat ini
kewajiban kitalah untuk memelihara ayam kita masing-masing.
Koeleano: Itu sudah pasti, juragan!
Para Dutu segera berkemas dan saling angguk untuk pamit.
Duta :
Tabe, maafkanlah kami karena telah merusak suasana dan pembicaraan yang baik
ini. Kami Duta Amantale terpaksa harus mohon diri karena tak sabar lagi ingin
menyampaikan berita baik ini kepada Tuan Amantale di Sampolawa.
Amangkali : Kalian sungguh
Duta yang baik. Tolong sampaikan salam keluargaku kepada Tuan Amantale. Dan
pelayananku yang kurang atas kalian para Duta kepercayaannya.
Duta :
Tabea Amangkali, Inangkali, dan isimiu
koeleano!31)(Seraya berdiri dan
bersalaman, lalu berjalan keluar).
Adegan 4
Wanita
berserta dua orang temannya berjalan berjalan santai dengan membawa bakul
cuciannya masing-masing. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah selesai
mencuci dan mandi di mata air Sangia di luar kampung.
Teman 1 : Betapa
malang nasibnya Wani ya! (kepada teman 2)
Teman 2 : yang malang
bukan hanya nasib Wani, melainkan nasib semua kaum perempuan Ciacia di negeri
ini.
Teman 1 : Benar juga
ya, adat negeri ini memang tidak adil terhadap kita kaum perempuan.
Teman 2 : Bukan hanya
tidak adil, tetapi justru tidak masuk akal. Coba pikir, apakah masuk akal
derajat manusia ditentukan oleh keturunan dan daerah asalya? Sementara Tuhan
tegas mengatakan tegas bahwa derajat manusia ditentukan oleh tingkat
ketekwaannya!
Teman 1 : Benar juga
ya, memang masih banyak orang Ciacia yang menyombongkan asal dan keturunannya
diantara sesama orang Ciacia sendiri. Itu akan memutuskan hubungan namanya!
Teman 2 : Bukan hanya
memutuskan hubungan, melainkan itu sifat sombong yang sangat dibenci Tuhan.
Bteman 1 : Benar juga
ya, asal dan keturunan itu kan untuk dipelihara nama baiknya, bukan untuk
disombongkan!Eh, jadiii…!
Teman 2 : Jadi apa?
Teman 1 : Jadiii…,
berarti, yang dipelihara oleh mereka yang mengaku keturunan hebat itu ternyata
bukanlah kehormatan, tetapi ke so mbo ngan! Lucunya Di!
Teman 2 : Memang! Mana
mungkin kehormatan bisa diperoleh dengan cara merendahkan orang lain! Bukankah
pepatah mengatakan “Hormatilah diramu dengan cara menghormati orang lain”.
Tiba-tiba
terdengar suara seruling yang mengalun dengan irama yang merawankan hati setiap
yang mendengar. Wani yang sejak tadi hanya diam saja mendadak jadi gugup karena
luapan perasaan yang bercampur aduk antara gembira, was-was, dan sedih. Dan
tubuh Wani seakan berubah jadi kaku ketika La Domai benar-benar muncul di depan matinya.
Wani :
Oooh, kak…kak kau…La Domai!
La Domai : (hanya
membalas dengan tatapan mata yang memancarkan kerinduan yang dalam, tetapi
disudut bibirnya tersungging senyum kekecewaan dan putus asa)
Melihat
Wani yang seakan tak sadar lagi dengan keadaan sekelilingnya, kedua teman Wani
langsung berbisik dan beranjak pergi meninggalkan Wani yang tinggal berdua
dengan La Domai pujaan hatinya. Setelah suasana lengang beberapa saat.
La Domai : (sambil
membelakangi Wani yang telah merunduk diam) Tujuh lembah dan tujuh bukit telah
aku lewati untuk menemui pautan hati. Tetapi apalah dayaku kini, kalau bunga di taman
harus dipetik orang!
Wani :
Apakah karena berita dari Sampolawa itu?
La Domai : Kalau itu
memang benar, Dinda!?
Wani : Oh,
Kanda! Alangkah sia-sianya hatiku merangkai kesetiaan selama ini!
La Domai : Apakah arti
kesetiaan Dinda, kalau tungkai hati akhirnya kan patah jua!
Wani :
Kalau tungkai patah, janganlah kumbang pindah berpijak, Kanda!
La Domai : Benarkah itu
Dinda?!
Wani :
(duduk bersimpuh) La Domai Putra Pulau Karang, berpalinglah ke mari, tataplah
aku dalam-dalam dengan hati sanubarimu!
Mendengar
panggilan Wani yang tegas dan sungguh-sungguh, La Domai bagai terhipnotis
bergerak mendekati kekasihnya. Setelah berada cukup dekat, Wani lalu meraih
tangan La Domai dan meletakkannya diatas ubun-ubunnya. Dan betapa terkesimanya
La Domai ketika Wani kemudian mengikrarkan sumpah kesetiaan cinta kepada yang
maha kuasa.
Wani ;
Dengarkanlah Waopu! Aku Wa nurani putri Amangkali, hari ini mengikat sumpah di
bawah tujuh lapis langit di atas tujuh lapis bumi, bahwa tidak akan ada yang
sanggup memisahkan aku dengan La Domai baik dalam suka dan duka maupun dalam
hidup dan mati!
La Domai : Sungguh berat
sumpahmu ini Dinda!
Wani :
Kanda La Domai, keraguan adalah musuh kesetian!
La Domai : Baiklah
Dinda, nantikanlah kedatanganku pada 17 hari bulan di langit! (Lalu dengan
menguatkan hati berjalan pergi meninggalkan Wani)
Wani :
Kakandaku La Domai! (La Domai yang hampir menghilang dari pandangan Wani
spontan berhenti dan berpaling kearah Wani)
La Domai : Janganlah
beri keraguan dalam perjalananku kali ini Dinda!
Wani :
Itulah yang aku harapkan Kanda! Biarlah waktu dan maut yang jadi saksi :
Siapakah di antara kita yang sanggup membuktikan kata-katanya kelak?!
La Domai : Nantikanlah
Dinda!
Wani :
Penantianku adalah separuh dari nyawaku, Kanda!
Setelah
mendengar pengakuan kekasihnya itu, La Domai segera melesat pergi. Sepeninggal
La Domai, Wani pun segera berjalan pulang diirngi dengan alunan suara seruling
La Doami. Lampu panggung dipadamkan untuk menanda peralihan ke adegan
berikutnya.
Adegan 5
Amangkali
muncul bersama rombongan besar dalam pakaian adat resmi. Berjalan di sisi
kirinya Inangkali dan sisi kanannya Sora. Menyusul di belakang mereka adalah
rombongan koeleano, juga tidak ketinggalan juragan laut juga juragan Darat.
Setelah semua menempati posisi duduknya masing-masing, pertunjukkan pencat
silat segera dimulai sebagai hiburan selama menanti kedatangan rombongan
pengantin pria dari Sampolawa. Ketika sedang asik-asiknya Amangkali dan semua
tamu yang hadir menikamatipetunjukkan, tiba=tiba munculk bibi dengan tubuh
gemetar dan wajah pucat sambil meneriakkan “Balaa… Balaa”
petanda adanya kejadian buruk yang luar biasa.
Bibi :
Balaa…! Balaa…! Am… Amangkali…!
Amangkali :
Bibi, ada apa ini sebenarnya?
Bibi :
Annn… anu, Wawwani…, Amangkali
Amangkali :
Ada apalagi dengan kemenakanmu itu, cepat katakan!
Bibi :
Amm… Ammpun, Amangkali! Wani…Wani… Amangkali!
Amangkali :
Ya, Wani! Ada apa dengan dengan dia!? (kesal dan penasaran)
Bibi :
Wani, Wani baku bawa lari dengan La Domai!
Amangkali : Apaaa??? Wani lari
dengan La Domai??? Tidaaak (tubuhnya bergetar, biji matinya melotot lantaran
amarah!)
Bersamaan
dengan teriakan Amangkali; Inangkali terkulai pingsan. Bibi dan Langkaliti
segera memapah Inangkali masuk ke dalam. Tamu-tamu yang lain juga telah menguncukrkan
diri satu persatu, kecuali Sora dan Juragan yang tetap bertahan mendampingi
Amangkali
Amangkali : Ngkaliti… !
Ngkaliti…!
Langkaliti : (kembali
masuk denga tergopoh-gopoh dan duduk di samping Sora, pamannya sendiri) Tabe,
Amanda! (kepada Amangkali)
Amangkali : Ngkaliti,
putraku, mendekatlah kemari!
Langkaliti : (mendekati
Amangkali, duduk besila di depan Amangkali) Tabe, amanada!
Amangkali Ngkaliti, putra
Sangia, lihatlah kemari! (seraya dengan sangat hati-hati meloloskan keris
pusaka dari sarungnya, lalu mencium dan mengacungkannya ke atas) kini keris pusaka mata Sangia
telah keluar dari hulunya, pantang disarungkan sebelum nywa La Domai dan nyawa
adikmu, Wani, darah dagingku sendiri, terpisah dari tubuhnya!
Langkaliti : Ampuni aku
Amanda! Ak… Aku tak sassanggup…! (tubuhnya gemetar, jiwanua rusuh oleh
pertentangan antara kewajiban terhadap ayahnya dan kasih sayang terhadap adik
tunggalnya)
Amangkali : Tidak putraku!
Ini bukan semata-mata keharusan dariku, tetapi… ini adalah ketetapan takdir
bagi keluarga Amangkali, pewaris keris pusaka Mata Sangia!
Langkaliti : Tabe,
Amanda (dengan tangan gemetar menyambut keris pusaka yang diserahkan oleh
ayahnya) tet… terpaksa, Ama…! (lalu bergegas pergi dengan membawa keris
terhunus.)
Amangkali : Saudaraku, dan
kalian juragan kepercayaanku, tidakkah kalian merasakan kejanggalan dalam
tindakannku ini?
Juragan Laut : Maafkan saya
Amangkali! Ibarat suatu pelayaran, datangnya badai kadang menghalau kejernihan
hati dan mengguncang ketabahan akal budi kita. Lantaran pikiran tak sanggup
menjangkau kekuatan kelombang dan kemauan arus samudra ketika badai.
Amangkali : Apakah itu
berarti telah ada kesalahan dalam tindakanku ini?
Juragan Laut : Sekali lagi,
maafkan saya Amangkali! Amangkali telah berlayar pada lautan yang benar untuk
menuju ke daratan yang juga benar. Namun, tatkala badai terlampau kuat,
salahkah bila layar kemuadian harus diturunkan agar perahu tidak tenggelam atau
memilih berlabuh di daratan yang terdekat agar perahu tidak karam!?
Amangkali : Tidak! Aku Amangkali
tidak mungkin mau melangkahi adat leluhur Mata Sangi ini! Apapun alasannya!
Juragan Darat : Maaf tuan
Amangkali! Arah pembicaraan Juragan Laut bukanlah untuk melangkahi adat,
melainkan hanyalah perlu adanya sikap pengecualian manakala resiko yang
ditimbulkannya terlampau berat.
Juragan Laut : Memang
kesanalah arahnya. Namun, sayapun menyadari bahwa kebenaran kadang terlalu
pahit untuk ditelan, apalagi kalau itu datangnya n\belakangan oleh generasi
yang lebih muda.
Juragan Laut : Sudahlah, saudaraku!
(kepada Juragan Laut). Kita manusia ini memang kadang aneh. Tuhan saja, yang
menciptakankita ini, sudah mau memberikan pengecualian atas pelaksanaan segala
aturannya; sedangkan manusia justru begitu angkuh, tidak mau memberi
pengecualian pada adat dan tradisi nenek moyangnya, bahkan itu bertentangan
dengan hukum Tuhan sekalipun.
Amangkali : Janganlah
kalian menyindirku, karena pantang bagi Amangkali untuk menjilat ludah yang
sudah dimuntahkannya!
Sora :
(berusaha mengalihkan suasana yang mulai memanas) Tabe, Amangkali! Apakah tidak
sebaiknya kita segera ke Mata Sangia untuk melakukan pemujaan terhadap arwah
leluhur!
Amangkali : Itu usul yang
baik Sora! Mungkin pemujaan bisa mengurangi timbulnyakorban yang lebih besar
dari amuk keris pusaka Mata Sangia.
Di atas panggung tampak Wani dan La Domai berjalan
beriringan. Mereka tampak kelelahan seperti
baru melakukan perjalanan yang melelahkan. Wani kemudian duduk mengasoh di atas
sebuah bukit kecil. La Domai lalu menyusul pula dduduk mengasoh di samping Wani.
La Domai :
Sungguh berat pengorbananmu buat anak dagang yang malang ini, Wani!
Wani :
Adakah yang pantas disebut dalam cinta dan kesetiaan, Kanda?!
La Domai :
Andaikan saja nyawaku yang selembar ini bisa
berharga untuk mengurangi penderitaanmu, maka sekarangpun aku rela
menyerahkannya, Dinda!
Tiba-tiba
terdengar suara langkaliti menggelegar, memanggil-manggil nama Wani dan La
Domai.
Langkaliti : Wanii…!
Wani…! Domai…! Domaai…! La Domaaii…!!! (sambil menuding La Domai yang telah ada
di depan matanya)
Wani :
(berdiri menghadang di depan La Domai) urungkanlah niat yang buruk, Kanda!
(kepada Langkaliti) hukumlah adikmu yang malang ini, Kanda (sambil manahan isak
yang tek terbendung lagi dari jiwa) karena dindalah penyebab semua mala petaka
ini!
La Domai : Tidak!
(sambil berusaha melindungi Wani) Akulah yang patut dihukum dalam hal ini,
Ngkaliti! Basuhlah keris pusaka lambang ketinggian derajat keluargamu dengan
seluruh tetes darah di tubuhku ini tetapi janganlah berani berani menyentuh
Wani, karena darahku pastu akanmembeku!
Langkaliti : Adikku, La
Domai! Sebagai laki-laki marilah kenyataan hidup ini secara laki-laki! Bagiku
siapapun yangkorban di antara kita sama saja! Nah, bersiaplah!
Wani : Ooh…
Tidaaak…! (kembali menyerbu untuk melerai) Kanda, Ngkaliti…La Domai… urungkan
niat yang dipaksakan ini! (tangisnya semakin menjadi-jadi)
Langkaliti : Wani,
Adikku janganlah menghalanginya! Besarkanlah jiwanya! Sebab kematian belum tentu berada
di pihaknya. Dan kamu La Domai… (berpaling
ke arah La Domai) tegaklah pada pendirianmu. Marilah kita jalani kenyataan ini
secara baik-baik.
La Domai : Tabe, Kakanda Langkaliti
(seraya mencabut badik dari pinggangnya) izinkanlah saya membela selembar nyawa
yang tak berharga ini!
Langkaliti
dan La Domai lalu segera bergeser dengan bunga-bunga silat menuju arena yang
lebih luas. Rintihan dan ratap tangis Wani tak berari apa-apa lagi bagi
keduanya yang telah biulat tekat untuk bertarung.
Wani :
Oooh…, Waopu betapa malang hidup kaum perempuan di tengah-tengan adat yang lata
seperti ini! Betapa tak berdayanya diriku hidup di antara laki-laki yang egois
seperti ini! Ambillah nyawaku, Waopu! Sungguh aku tak sanggup lagi menanggung
semua ini! (denganisak tangis yang semakin memilukan)
Di tengah
arena tampak Langkaliti La Domai tengah memainkan bunga jurus silatnya
masing-masing dengan iringan gendang pencat silat yang semakin menderas. Berkali-kali mereka saling mendahului, saling menekan,
saling mencuri kesempatan dan saling mengintai kelemahan lawan sebagai saran
tikaman keris mereka masing-masing. Setelah perterung berlangsung cukup lama
mereka tiba-tiba saling mengganjal dan keris mereka sama-sama tertahan pada
posisi ke arah lambung masing-masing. Setelah beberapa kali mereka saling
menekan secara bergantian, tiba-tiba di luar dugaan, La Domai menarik
pergelangan tangan langkali ke arah lambungnya sendiri, sehingga tanpa bisa
dihindari lagi keris pusaka Mata Sangia di tangan Langkaliti terhujam masuk
merobek lambungnya. Dengan rasa menyesal Langkaliti langsung memangku tubuh La
Domai yang terkulai lemah.
Langkalit : Ooo… La
Domai yang malang! Mengapa… mengapa bukan kerismu saja yang kau benamkan ke
dadaku! (seraya mengguncang tubuh La Domai dan menatapi darah di telapak
tangannya). Kita sama-sama tak berdaya adikku…!
Sementara itu,
Wani sejak tadi terpaku kaku melihat kejadian itu. Tiba-tiba mengeluarkan
sebelah keris kecil dari balik sarung. Ia lalu mengangkat tinggi-tinggi keris
itu dengan posisi siap di hujamkan ke arah jantungnya sendiri.
Wani :
Kakanda, L:a Domai kini giliran aku yang harus membuktikan kata-katanya!
Nantikan dinda dalam perjalanan ke alam sana, Kanda! (lalu menghujamkan
kerisnya ke dalam dadanya sendiri)
Langkaliti : (kaget dan
berusaha menghalangi perbuatan adiknya tetapi sudah terlambat) Wani…! Wawwani!!!
Wani :
(sambil berusaha melawan rasa sakit dengan bersandar di dada kakaknya,
Langkaliti) Ngkangkali… Sassampaikan
Peppermohonan maafku pap…pada Ammanda… dad dan inannda! Yaa…! Sesselamat… tit…
titttinggaaal!
Langkaliti : Wawwani….! Wani….! (sambil mengguncang
tubuh Wani berkali-kali). Kakkau telah binasakan takdirmu sendiri… adikku!
Langkaliti lalu meletakkan
tubuh adiknya dengan wajah protes sambil menahankesedihan yang dalam, ia
melangkah tertatih-tatih dan berusaha setegar mungkin berdiri tegak di antara
mayat La Domai dan mayat adiknya, Wani sambil mengangkat kedua belah tangannya
yang berlumuran darah, ia berkata kepada seluruh hadirin…
LAYAR TURUN
ok.terimah kasih...
ReplyDeleteadin 015
ok.terimah kasih...
ReplyDeleteadin 015
permisi, ada tidak link buat download naskahnya?
ReplyDelete